Jumat, 08 Mei 2009

Mempawah Bangkit

Dengan segala argumen, saya sangat menghargai perjuangan para tetua yang ada di Mempawah, kabupaten yg memiliki inisial Kota Bestari.
Tatkala pemekeran terjadi, Kabupaten Pontianak mengalami dua kali pemekaran. Pertama dengan Kabupaten Landak dan kedua dengan Kabupaten Kubu Raya. Sejatinya, pasca pemekeran kabupaten induk yang ditinggal seharusnya lebih mapan daripada kabupaten baru yang dipecah.
Namun kondisi yang terjadi adalah, kabupaten induk yang dilakukan pemekaran malah mendapatkan derita yang berkepanjangan. Pasca pemerakan dengan Kabupaten Landak, Mempawah sebagai ibukota kabupaten belum terasa mengalami kemunduran. Beranjak pada pemekaran yang kedua, dengan Kabupaten Kubu Raya, Mempawah mulai terseok-seok.
Baik dari sisi luasan wilayah, jumlah penduduk hingga berujung pada sumber pendapatan. sungguh miris.
Mempawah yang pernah beberapa kali mendapatkan penghargaan Adipura, tak lagi memancarkan pesona sebagaimana layaknya daerah yang memberi harapan bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Mempawah untuk saat ini perlu berjuang keras sehingga tidak terjadi regrouping dengan kabupaten/kota yang dekat dengan wilayah Mempawah karena tak mampu membayar gaji PNS atau membayar lampu penerangan jalanan.
Bagi masyarakat Mempawah, untuk saat ini jangan bercita-cita mendapatkan pendidikan SMA gratis, apalagi untuk pendidikan S2 bagi orang-orang di luar koridor aparatur pemerintah....untuk membayar listrik dan air leding asrama mahasiswa yang berada di Kota Pontianak saja harus menunggak 3 bulan dulu baru dilakukan pelunasan. naif.
Semoga dengan kondisi yang serba terbatas ini, di Mempawah lahir generasi-generasi pejuang yang dapat membuat Mempawah memiliki nilai jual lebih. Semoga kehadiran generasi pejuang Mempawah merupakan titik cerah untuk membawa kebangkitan Mempawah Bestari untuk masyarakatnya. Semoga.

Minggu, 01 Maret 2009

Muara Di Strata Satu

Muara Di Strata Satu

Oleh Ahdika*

Akhir dari studi strata satu, ditandai dengan selesainya mahasiswa melakukan ujian komprehensif (sidang skripsi) dan mendapatkan ijazah atau sertifikat kelulusan. Di penghujung semester, berdasarkan SK dari pimpinan perguruan tinggi biasanya mahasiswa tersebut akan melaksanakan wisuda. Mengunakan baju kebesaran (jubah) beserta toga, di dalam prosesinya berupa sidang umum dan dihadiri oleh banyak orang. Dari unsur senat, pimpinan daerah, orang tua atau wali wisudawan sampai tamu kehormatan lainnya. Bukan fenomena yang asing, jika bertepatan dengan hari wisuda beberapa gedung dengan daya tampung besar menjadi sasaran pelaksanaan kegiatan. Alasannya sederhana, tentu untuk menampung wisudawan dan undangan yang datang, sehingga tak ada orang yang melewati prosesi itu. Hingga ruas-ruas jalan yang berada dekat gedung pun akan sesak karena banyaknya kendaraan. Tak mengenal jenis, merk, asal daerah mana, semuanya terparkir berada di dekat gedung pelaksanaan. Dengan satu tujuan menghadiri proses wisuda. Undangan pun datang bak air bah yang tumpah, beramai-ramai pergi ke acara yang diselenggarakan oleh panitia.

Wajah gembira penuh riak bahagia terpancar dari setiap mahasiswa yang di wisuda, tak tau jelas maksudnya. Namun yang bisa ditangkap, senyum wisuda bagian dari senyum kebebasan setelah beberapa tahun terakhir terikat oleh SKS pendidikan yang diselenggarakan perguruan tinggi. Apalagi sistem pendidikan di Indonesia yang mewajibkan belajar dari SD, SMP, SMA atau lebih dikenal dengan wajib belajar 12 tahun. Nah apabila dari pendidikan dasar sampai atas, ditambahkan dengan masa kuliah mencapai gelar kesarjanaannya, maka selama itu pula wisudawan terikat pada sistem pendidikan yang mau tidak mau harus dikerjakan. Bisa dibayangkan, bukan waktu singkat. Jadi wajar saja, guratan senyum yang diberikan wisudawan dikatakan sebagai senyum kebebasan. Tak menutup memiliki arti lain, senyum yang diberikan berupa senyum kepahitan penuh derita karena setelah wisuda secara resmi tidak menyandang gelar mahasiswa namun berstatus pengangguran intelektual. Idealnya setelah menyelesaikan pendidikan tinggi, keharusan anak untuk merubah nasib kelurga yang selama ini membiayai dari kecil hingga mendapatkan gelar kesarjanaan. Faktanya tidak mudah seperti yang diharapkan, selesai kuliah langsung mendapatkan jabatan, memiliki gaji besar dan mampu memberikan orang tua kebahagiaan dalam bentuk fisik. Terlepas dari masalah senyum tadi, di hari wisuda mahasiswa wajib memberikan senyum sebagai pertanda bahwa mereka bahagia. Toh kenyataannya, atribut yang digunakan dan riasan yang digunakan memang mengatakan “wajib tampak bahagia”.

Keluarga yang datang menghadiri undangan wisuda juga setuju dengan pernyataan tersebut, sehingga berbondong-bondong datang melihat anak, saudara dan orang yang dicintai disematkan gelar kesarjanaan. Tawa bahagia, derai air mata dan senyum penuh makna dapat dilihat dari raut wajah setiap orang yang datang di prosesi wisuda tersebut. Menggunakan jas, safari, batik, kemeja, blazer, kebaya hingga baju kebesaran lainnya digunakan disesuaikan berdasarkan kemampuan masing-masing. Bahkan tak menutup kemungkinan, ada dari orang tua atau wali wisudawan yang khusus memotong, membuat pakaian untuk dikenakan pada hari wisuda tersebut. Jika tidak pun, meminjam atau menyewa pakaian yang cocok digunakan pada hari yang penuh sejarah datangnya intelektual muda dihadapan dunia nyata. Semuanya sah-sah saja, karena tidak ada larangan atau aturan dalam menafsirkan dan mempresepsikan wisuda tersebut.

Pasca wisuda, wajah senyum wisudawan mulai menjadi guratan murung. Pakaian rapi berubah semrautan karena belum dapat naungan tempat beraktifitas atau kerja. Tabungan yang ada semakin menipis digunakan untuk membuat lamaran kerja dan dikirim melalui jasa pengiriman. Alhasil ada beberapa wisudawan memutuskan kembali ke kampung halaman, bekerja apa saja yang penting tidak terlalu bosan dengan suasana yang terjadi. Ada juga yang tetap memilih berkarir sesuai dengan gelar yang dimiliki, meski harus merantau jauh dari keluarga dan berada di pelosok, hingga ratusan kilo jaraknya dari ibukota kabupaten. Pilihan lainnya melanjutkan ke strata dua atau berkarir di dunia yang didapat bukan di bangku kuliah, namun dari organisasi kemahasiswaan atau lembaga luar berupa aktifis perubahan, politisi, enterprenuer, jurnalis sampai ahli agama, yang memang dikembangkan sesuai talenta. Meski baru sadar, mengetahui bakat yang ada di dalam diri pada usia di atas 20 tahun. Nah yang perlu dicermati, terkadang kebanyakan manusia melangkah dulu baru berpikir. Jika sudah terjadi, itu adalah takdir. Namun tidak menyiapkan sesuatu dari awal sehingga pasca wisuda, kebinggungan menentukan pilihan hidup. Semuanya kembali ke niat awal dari wisudawan tersebut, apakah memiliki perencanaan dalam hitungan bulan setelah wisuda langsung ingin bekerja atau menunggu pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan keinginan, baru akan bekerja dan sebaliknya tidak mau bekerja sama sekali karena harta yang ditinggalkan keluarga masih mencukupi hingga keturunan selanjutnya.

Dunia nyata, oh nyata. Bukan sesuatu yang hanya bisa dicapai dengan kata aku bisa, akan tercapai. Banyak tantangan dan halangan yang akan dihadapi oleh lulusan sarjana untuk mencapai hal tersebut. Terutama untuk mereka yang hanya berlabel ijazah kesarjanaan, jangan berharap lebih bisa dapat pekerjaan di waktu yang singkat. Dunia kerja begitu kejam, membutuhkan lulusan yang siap pakai, sudah memiliki pengalaman beberapa tahun pada lowongan pekerjaan yang dibuka. Cilakalah bagi lulusan yang tidak memiliki keahlian dan pengalaman di luar mata kuliah yang di dapat, karena saat ini nasib tidak berpihak ke Anda. Fakta yang ada, beratus-ratus lamaran yang murni berasal dari lulusan studi oriented belum tentu diterima kerja dengan mudah apabila tidak memiliki “orang dalam” di tempat yang ingin dilamar. Jika pun bisa bekerja, murni karena menggandalkan kemampuan mengisi jawaban pada lembar pertanyaan, melewati psikotes, berbicara saat interview hingga tes kesehatan hanya berbanding kecil dari jumlah wisudawan yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi.

Pilihan kerja yang masih jadi primadona saat ini bagi sebagian besar lulusan sarjana adalah amtenar. Tak ayal lagi saat pembukaan tes CPNS di Provinsi Kalimantan Barat beberapa waktu lalu, ribuan pendaftar memasukan lamarannya sesuai gelar yang disandang. Sementara pemerintah hanya menyediakan beberapa formasi kosong untuk ditempati oleh lulusan terbaik dari perguruan tinggi, sehingga kecerdasan menjawab lembar pertanyaan pada saat tes, keberuntungan dan garis nasib menjadi satu kesatuan pada saat melihat pengumuman kelulusan tes sebagai abdi negara tersebut. Selain perencanaan dan keahlian yang di dapat di luar pendidikan bangku kuliah, bekal yang harus dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi yakni jaringan, kenalan terhadap orang-orang yang memiliki kemungkinan dapat menggunakan jasa atau keahlian yang kita miliki. Nah, bagian ini merupakan hal terpenting sebagai media promosi diri bahwa sebenarnya kita layak untuk mendapatkan pekerjaan yang ditawarkan. Sudah bukan rahasia lagi apabila jalur lain yang dipilih, selain enterpreneur maka suatu kewajiban yang utama harus memiliki referensi orang yang akan menjadi rekan dan patner untuk mencapai tujuan kita. Jika sudah nyata, mengetahui jalur pasti jalan hidup yang akan dijalani maka tombol kendali semuanya berada di pribadi masing-masing. Ingin lama bekerja, sebentar, bertahan, memutar haluan lain atau tetap berstatus pengangguran.

*) Penulis merupakan dewan alumni Primakapon dan wisudawan Fahutan Untan semester ganjil 2008-2009.

Rabu, 25 Februari 2009

Bebas Diambang Batas

Bebas Diambang Batas


Oleh
Ahdika*


Bebas. Mengandung makna yang ada di dalamnya. Dapat berarti positif, namun tak sedikit pula yang menilainya negatif. Cara berpikir dan penafsiran berbeda-beda membuat kata itu menjadi lebih dinamis, penuh gejolak dan menarik untuk ditelaah. Begitulah realitas kemajemukan yang terjadi di masyarakat, dinamika yang terkadang memulai benih perselisihan paham hingga dijadikan alasan tajam kritikan. Tak ada yang perlu diratapi, cukup menjadi bahan evaluasi dalam memahami esensi kedewasaan berpikir.
Paham yang mengatasnamakan kebebasan, menitikberatkan manusia sebagai subjeknya dengan sadar dapat melakukan apa saja, tanpa mengindahkan kaidah-kaidah kehidupan yang berlaku asal tidak merugikan orang lain. Mengekspresikan kebebasan. Dengan kata lain boleh saja dikerjakan asal tidak menggangu kepentingan orang banyak dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Liberalisme berpikir seperti ini secara nyata sudah terjadi di masyarakat, merasuki setiap tindakan yang disebabkan pola pikir realistik. Sebuah kata yang pas untuk disandangkan dengan kondisi yang terjadi.
Paham yang berkembang ini menjangkit, bak virus menular di daerah-daerah urban secara cepat, akurat menjajali kumpulan komunitas yang mengatakan dirinya modern. Dengan pasti merubah cara pergaulan, berpakaian, interaksi sosial sampai pada jenis makanan. Terkadang bicara pun sudah menggunakan kosakata sendiri, bukan lagi bahasa yang susah-susah dirumuskan oleh para ahli menjadi bahasa resmi negara ini. Semua yang diaplikasikan mengerucut pada satu kata yakni “gaul”.
Kebebasan yang dianut kaum urban, khususnya kalangan remaja secara eksplisit menyatakan bahwa setiap maksud yang ada di kepala dapat diekspresikan, bisa diwujudkan, karena itulah esensi kebebasan. Sehingga tak mengherankan sesuatu di dunia antah-berantah yang tidak diketahui secara pasti maksud dan tujuannya diserap menjadi style dan trend baru yang berkembang di komunitas modern. Seperti regres yang dipaksa masuk menjadi progres, berubah wujud karena tuntutan zaman. Hitam dapat jadi putih, sebaliknya putih bisa berubah hitam.
Paham yang tidak dapat dibendung merasuki setiap kepala pada kaum urban, didukung mudahnya akses informasi dan komunikasi. Misalnya trend berpakaian yang digandrungi, dalam hitungan menit dapat diakses melalui internet atau melihat tontonan tv yang sangat luas dan tak terbatas. Selain itu pasar, berupa dunia bisnis juga memandangnya sebagai market baru yang dapat dijadikan sumber keuntungan sehingga dengan suka rela menjadi pemasok kebutuhan tersebut. Hasilnya dalam sehari, kaum urban penganut paham kebebasan dengan mudah mengubah gaya fashion mereka sesuai keinginan. Coba sedikit ketahui efek minusnya, paham kebebasan yang merasuki kepala tersebut dapat merubah citra kehidupan bangsa yang ada. Identitas bangsa dihilangkan, ciri yang ada digerus perubahan zaman yang secara tidak langsung merupakan hasil adopsian negara-negara berpaham liberalisme. Bisa jadi maksud yang diusung oleh kaum urban baik, dengan menyesuaikan kondisi kehidupan zaman namun tidak melupakan identitas bangsa yang terbatas digunakan pada hari perayaan-perayaan nasional atau cukup ditempatkan di etalase-etalase museum saja.
Nah mari menilik generasi urban Pontianak. Bukanlah pemandangan asing lagi dengan remaja menggunakan taburan pernak-pernik, baju beraneka warna sampai merelakan tubuh bagian paling tertutup digoresi tinta (tatto) ada disekitar kehidupan kita. Jika masih belum pernah melihatnya, silakan Anda menelusuri jalan protokol di Kota Pontianak pada sore hari. Di waktu itu akan dijumpai fenomena kehidupan urban yang diterapkan. Berkelompok sesama komunitasnya, menonjolkan sisi identitas diri yang dapat dibedakan antara user motor, anak mall, skaters, grup band, punk, style “jadul” retro hingga komunitas benda antik. Meski mereka tidak mendeklarasikan sebagai kaum urban, namun arah dari gaya kehidupan yang diterapkan membawa paradigma kita menuju ke sana.
Penampilan dari kaum urban biasanya dipengaruhi oleh cara berpikirnya sehingga membawa pada kepribadian dan bermuara di gaya kehidupan. Dari setiap tindakan itu, akan menghasilkan akibat, melahirkan kata pada kehidupan masyarakat berupa dampak sosial gaya kehidupan remaja yang mengatasnamakan kebebasan dengan memandang pergaulan bukanlah hal yang menakutkan. Fenomena pergeseran paham yang ekstrim antara budaya konservatif dengan liberal, seperti hubungan yang dikenal pacaran. Bukan hal baru, bahkan sebagian remaja menjadikannya rutinitas ideal yang harus dilakukan di masa ini. Alhasil, ketika hubungan pacaran menjelajah ke tindakan berbau kasih sayang sehingga menghalalkan pengungkapkan bentuk cinta berupa sentuhan fisik ke pasangan yakni belaian dan ciuman. Lambat laun mengenal gelora seksual yang memicu bom waktu aktifitas ekstrim, seks bebas.
Remaja dengan ikatan pacaran bahkan dapat intim berpegangan tangan, berpelukan hingga melebihi pasangan yang sudah memiliki ikatan jelas pernikahan di depan khalayak umum. Seperti tak mengindahkan orang lain lagi. “Whatever dengan pandangan orang. Asal kami mau, kenapa tidak?” seperti itu barangkali ungkapan yang ada di benak mereka.
Cara berpikir tersebut membuat presepsi tidak ada sesuatu yang menakutkan di komunitas urban, sehingga berhubungan intim (seks bebas) di luar pernikahan bukan hal aneh. Prilaku yang didukung seperti terciptanya kesepakatan, tak ada larangan kalau pun ada hanya berupa komitmen diantara pasangan urban, misalnya meresmikan status hubungan mereka secara hukum. Toh kenyataannya corong kebebasan barat mengiyakan hal tersebut, bahkan paling terkomitmen merestui adanya hubungan sesama jenis dalam satu ikatan perkawinan.
Kejadian terbaru yang dipublikasikan oleh rekan media dapat menjadi referensi kembali, betapa luasnya beredar paham bebas di komunitas-komunitas urban yakni dengan ditangkapnya pasangan mahasiswa di Kota Pontianak, tanpa ikatan pernikahan berada berduaan di kamar kos oleh warga setempat. Sang wanita tanpa menggunakan busana atasan alias baju. Masih belum cukup, di setiap razia yang dilakukan Satpol PP di kota Pontianak, ada saja pasangan tanpa nikah yang tertangkap sedang “mesum” di kamar kosnya tanpa mengantongi lembar nikah resmi. Tak dapat dipungkiri satu penyebab yang membuat mereka berani melakukannya, karena dapat mengantisipasi kemungkinan yang terjadi apabila hubungan intim tersebut membuahkan hasil. Faktanya dipasaran bebas banyak beredar alat kontrasepsi, tes kehamilan sampai pil penunda datangnya si janin. Selain itu juga banyak sikap bebas yang dapat menjadi rujukan tindakan mereka, untuk melakukan sama persis seperti apa yang diperbuat oleh publik figurnya. Layaknya media yang heboh memblow-up berita si aktris, aktor, musisi, olahragawan, politikus, dewan rakyat yang terhormat hingga orang yang mentasbihkan diri sebagai ahli agama. Begitu pula lah sebaliknya komunitas urban berlomba-lomba untuk mengup-date dirinya sehingga masuk dalam kategori gaul. Antitesisnya adalah tingkat pendidikan yang tinggi, informasi dan komunikasi yang sangat mudah. Begitu mendukung paham liberalisme yang ekstrim. Keberpihakan kondisi terhadap kemajuan juga menguntungkan kaum urban dari segala hal, di setiap lini kehidupan.
Kejadian seperti masalah di atas sudah sangat sering kita dengar dan lihat, tidak hanya terjadi di Kota Pontianak, bahkan merata di seluruh wilayah Indonesia yang mengalami kemajuan menuju fase modern alias terdapatnya komunitas urban di sana. Mari meninjau kembali kehidupan di belahan dunia barat, yang menjadi kiblat liberalisme modern. Kebebasan yang ditekankan menyangkut hak privasi seseorang sudah di dukung dalam aturan-aturan negara. Sehingga secara formal legalitas negara merupakan lembaga hukum yang memberikan dukungan penuh terhadap kebebasan hidup warganegaranya. Artinya kebebasan yang mereka perbuat tidak melanggar aturan dan sudah dijamin secara penuh oleh negara, tak akan ada yang dapat menghentikan kebebasan yang dilakukan apabila tidak ada orang yang dirugikan atau menuntut mereka dilecehkan atau pun memperkarakan ekspresi tersebut.
Sementara di Indonesia sendiri, secara eksplisit aturan yang mendukung tentang kebebasan kehidupan memang belum diatur secara jelas. Bahkan rancangan undang-undang tentang pornografi masih menuai kontroversi. Meski demikian walau tidak didukung aturan oleh negara, kaum urban tetap berkembang dan eksis di kondisi saat ini. Sehingga kuatnya aturan agama, ikatan budaya dan norma yang ada di masyarakat secara pelan mulai ditiadakan kaum urban yang ingin secara penuh mengekspresikan diri.
Seperti itulah fenomena yang terjadi. Dapatkah membuka cakrawala bergesernya budaya, jati diri bangsa dengan merobek jantung kehidupan masa depan berupa remaja. Akankan Indonesia menjadi peradaban yang tinggal nama atau sebaliknya, menjadi bangsa kuli yang kehilangan eksistensi kehidupan tergerus paham kemajuan peradaban padahal berada di otoritas wilayah sendiri. Menyaksikan atau mari berbuat untuk menjadikan paham berbalik dengan menciptakan Indonesia sebagai trend center kehidupan melalui keramahtamahan serta budaya ketimuran. “Whatever”.


* Penulis Merupakan Dewan Alumni Primakapon dan Pelaku Sosial