Pilkada Kalbar ; Tak Sebatas Pemberian Bingkisan
Oleh
Ahdika Fitrarianto*
A. Pendahuluan
Genderang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kalbar sudah terasa gaungnya, meski pemilihan gubernur tersebut dihelat akhir tahun ini. Namun, berbagai strategi dan tak-tik jitu untuk memenangkan pemilihan sudah mulai dimainkan oleh para calon.
Pada dasarnya, Pilkada yang diusung merupakan bagian dari perbaikan, reformasi pemerintahan menuju demokrasi seutuhnya. Dimana masyarakat sebagai pilar dari demokrasi, juga turut ambil bagian dalam menyukseskannya. Sehingga, komponen masyarakat sebagai pengawas dan pengontrol kebijakan pemerintah, harus memilih secara langsung, siapa yang akan dijadikan pemimpinnyanya.
Tidak lagi, melalui pemilihan perwakilan seperti zaman orde baru dulu yang dianggap sudah tidak cocok. Dasarnya pun sudah jelas, berupa Undang-undang (UU) nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 17 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahaan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Nah, dalam pelaksanaan Pilkada secara langsung tersebut, akan menentukan 5 tahun mendatang siapa yang akan memimpin Kalbar, membawa daerah Khatulistiwa ini, menuju lebih baik. Mensejahterakan rakyat, menekan angka kemiskinan, membuka peluang kerja, meningkatkan taraf pendidikan dan kesehatan masyarakat.
B. Realita Masyarakat Kalbar
Tak pelak lagi, dalam pelaksanaan pilkada tersebut, terletak besar harapan masyarakat untuk perubahan taraf hidup mereka yang lebih baik. Bukan sebaliknya, menjadi lebih buruk. Apakah saat ini, kita sudah tahu jawabnya ? Tidak yakin ! Lihat saja saat hasil pemilihannya nanti.
Nah, di tengah gemerlapnya pesta demokrasi ini, beberapa calon yang ke depannya akan memimpin Kalbar sudah bersiap naik ke atas pentas, menjadi yang terbaik, merebut hati masyarakat, guna mendapatkan dukungan. Sehingga, pada saat pemilihan nanti, merekalah yang akan “dicoblos” masyarakat.
Di sini lah, peluang yang harus disadari. Jangan sampai tertipu, membeli “kucing dalam karung”, sehingga pada saat terpilih baru terjadi penyesalan dan ucapan kekeliruan: “Kenapa dia yang saya pilih ya ?” pun terlontarkan.
Pasalnya jika menilik tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masyarakat, Kalbar termasuk kategori tertinggal dari provinsi lain yang ada di Indonesia. Pada tahun 2004, Kalbar masuk peringkat 27 dari 32 provinsi.
Bahkan tak heran, dari tingkat IPM tersebut merebak pula menjadi daerah miskin. Alhasil, tentu akan berhubungan pula dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sehingga, ada sedikit bantuan yang diberikan calon, pilihan masyarakat akhirnya jatuh ke pemberi bantuan. Namun tidak melalui proses seleksi, mana yang terbaik di antara paling baik.
Itu belum termasuk tingkat pendidikannya. Dari jumlah penduduk Kalbar di tahun 2006, berjumlah 4.107.230 jiwa, yang mengenyam pendidikan strata satu (S1) alias sarjana hanya 1,5 persen dan diploma 1,3 persen dari jumlah tersebut (Anwar, 2007).
Sungguh miris, jika 50 persen penduduk Kalbar, hanya mendapatkan sedikit bantuan lalu jatuh hati dengan calon yang memberikan sumbangan tersebut, sehingga akhirnya pilihan pada saat mencoblos pun jatuh ke calon pemberi bantuan.
Tentu, hasilnya tidak diharapkan. Lantaran calon terpilih naik jadi gubernur, karena bantuan yang diberikan bukan kompetensi yang dimiliki untuk memimpin Kalbar sebagai daerah potensial dan layak untuk maju ini.
Belum lagi, bicara politik busuk yang dimainkan oleh calon untuk memenangkan secara tidak sah. Money politics, dengan melihat realitas dan kondisi yang dialami masyarakat terpecil, tidak menutup kemungkinan peluang tersebut cukup besar untuk dilakukan. Lihat saja, beberapa pemilihan kepala daerah yang telah dilangsungkan di provinsi-provinsi yang ada di Indonesia.
Contohnya, di daerah Depok, ada bagi-bagi uang pada acara Maulid Nabi. Kemudian di Bandar Lampung, dalam bentuk pembagian uang dan bingkisan. Di Semarang, ada bagi-bagi uang Rp. 45.000 oleh tim sukses. Di Sleman, ada pejabat ikut-ikutan melakukan politik uang. Di Kalimantan Selatan, memberikan bingkisan. Di Pekalongan, ada upaya mempengaruhi publik dengan uang. Di Sumenep, terkenal dengan serangan fajarnya, dilakukan dan tertangkap basah, pagi-pagi membagikan beras dan uang di desa-desa. (Aman, 2005)
Nah, jika di Kalbar pun terjadi upaya tidak sehat demikian. Tentu, peluang masyarakat memilih tidak secara independent akan tercipta. Lantaran, sudah ada bingkisan yang datang, jadi mau tidak mau, karena tidak enak sama yang memberi barang, jadi ikut-ikutan memilih. Namun, jika masyarakat bisa membedakan pemberian dengan pemilihan secara proporsional, tidak masalah. Artinya, barang sumbangan yang diberikan merupakan pemberian jadi tidak ada hubungan dengan masalah pemilihan, karena tidak ada yang bisa mengatur masalah hak pemberian suara.
Jika seperti itu pemahamannya, tidak terjadi masalah dalam Pilkada yang akan memilih pemimpin kalbar nanti. Nah, jika kejadiannya berbeda ? Kalbar terperosok dalam gubernur sebatas bingkisan saja.
C. Netralisir Intrik Lewat Media
Saat ini, gerak-gerik politis untuk mencari dan mendapatkan perhatian masyarakat, sehingga didukung pada pemilihan nanti sudah dilancarkan. Mulai dari kunjungan, memberikan santunan, meresmikan tempat ibadah sampai mengisi malam pergantian tahun pun dilakukan.
Tapi yang jelas, jika itu adalah suatu metode yang harus dilakukan sebelum menjadi calon, tidak masalah. Asal jelas, batas dan aturannya. Tidak menjelekan dan menjatuhkan calon lain.
Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah kecerdasan masyarakat untuk mengetahui: seberapa dalam niat tulus serta kesucian calon pemimpin, untuk menjadi top leader di daerahnya. Itu yang sebenarnya diharapkan dan harus didapatkan masyarakat, dari kunjungan-kunjungan calon ke daerahnya.
Selain itu, media sebagai satu dari lima pilar demokrasi, dapat pula digunakan sebagai perantara dalam membangun jalinan komunikasi politik ke masyarakat. Bukan pula menjadi alat, dalam memuluskan langkah calon pemimpin yang tidak selayaknya menjadi pemimpin. Lantaran, memiliki pendanaan yang kuat.
Idealnya, media merupakan senjata paling efektif dalam menyampaikan pesan ke masyarakat, agar tidak memilih “kucing dalam karung”. Karena dari media ini lah, masyarakat dapat tahu, tanpa harus pergi ke suatu tempat, menempuh jarak yang jauh serta menghabiskan waktu yang banyak. Cukup membaca koran atau pun menonton siaran, yang dapat mengenalkan figur pemimpin dan membedah calon, serta intrik-intrik yang dilakukan untuk mencapai kemenangan.
Karena secara strategis, kalangan media berpotensi memainkan peranannya. Meski secara sadar, bahwa calon pemimpin sudah membuat strategi untuk memenangkan persaingan yang telah terwacana dengan baik, namun melalui media diharapkan dapat menetralisir hal tersebut, sehingga timbul opini masif dan terciptanya realitas sendiri di kalangan masyarakat.
Apalagi, peraturannya tentang keterlibatan media dalam Pilkada sudah jelas. Media massa cetak diperbolehkan menjadi partisan, namun tetap harus memberikan informasi yang benar kepada publik serta harus mengkuliti si calon agar masyarakat tidak memilih “kucing dalam karung”. Sedangkan media elektronik tidak dibenarkan menjadi partisan, karena terikat dengan frekwensi yang merupakan hak publik yang sangat terbatas (Sohirin, 2005).
Namun dari media pula, opini politik yang tercipta atas sebuah even politik dapat bermuara kepada realitas kooperatif, kompetisi atau pertentangan. Jika isu politiknya lebih mengarah pada pilihan politik (political choice) maka realitas politiknya lebih bernuansa kooperatif. (Thahir, 2006).
Artinya, bila isu politik lebih mengarah kepada penekanan kepentingan politik (political interest) maka lebih menggiring kepada suasana kompetisi. Sedangkan, jika isu politik lebih kepada pendekatan nilai (political value), maka tentunya akan lebih berkecenderungan ke arah pertentangan politik. Harapanya, tentu perhelatan demokrasi tingkat lokal tersebut lebih mengarahkan kepada wujud interaksi politik kooperatif dan kompetitif.
Nah dari media ini lah, cara yang bisa dilakukan untuk memunculkan calon pemimpin yang seharusnya mendapatkan dukungan dari masyarakat. Dengan kata lain, media dan kerja kewartawanan ibarat pelapor permainan intrik busuk yang harus diketahui masyarakat,, agar tidak salah pilih.
Untuk itu, diperlukan cara menyampaikan informasi ke masyarakat, sehingga tidak terjadi pepatah membeli “kucing dalam karung” dalam Pilkada Kalbar kali ini.
Pertama, surface facts. penelusuran fakta-fakta dari sumber orisinal. Wartawan menggali informasi, seperti, dari rilis berita, catatan-catatan, dan berbagai omongan (speeches). Kedua, kerja reportorial enterprise, pekerjaan seperti memverifikasi, menyelidiki, meliput kejadian-kejadian mendadak, atau mengamati latar belakang. Ketiga, ialah menggali interpretation and analysis, memahami dan memaknai galian data dan fakta yang sudah terkumpul, terkerangka, dan terasumsi (Santana, 2005).
Setelah semuanya dapat terkumpul dengan lengkap, baru dipublikasikan ke masyarakat secara objektif dan proporsional. Biarkan masyarakat menelaah dan menentukan sendiri pilihannya, siapa yang terbaik menjadi pemimpin Kalbar hingga tahun 2012 nanti.
D. Kesimpulan
Realitas yang terjadi di masyarakat, karena pengaruh ekonomi dan tuntutan kebutuhan yang selalu meningkat. Membuat, suatu keputusan yang diambil, bisa berpihak kepada orang yang memberikan bantuan pada saat dibutuhkan.
Jika dihubungkan dengan masalah Pilkada Kalbar yang akan dihelat dalam waktu dekat ini, tentu peluang tersebut dapat menimbulkan kecenderungan pilihan masyarakat bukan dikarenakan atas kesadaran dan memilah mana yang terbaik. Namun, karena siapa yang membantunya. Sehingga diperlukannya, upaya dalam meminimalisir tindakan spekulan yang dilakukan calon pemimpin dalam upaya memenangkan persaingan tidak sehat tersebut. Di sini, peran media lah sebagai penyampai informasi kebenaran terhadap masyarakat yang dituntut untuk memberitakan yang sebenarnya, sehingga masyarakat tidak memilih “kucing dalam karung” pada perhelatan demokrasi lokal ini.
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Kehutanan Untan
Pustaka
Aman, Adhy. 2005. “Transkrip Diskusi Publik Terbatas (Politik Uang dalam Pilkada)”. Dalam http://www.komisihukum.go.id//. 30 Juni 2005. Jakarta. (Kunjungan situs 24 Februari 2007)
Anwar. 2007. “Presentasi Makalah dalam Sosialisasi Budaya Baca”. 25 Januari 2007. Pontianak.
Santana, Septiawan. 2005. “Bagaimana Media Meliput ‘Pilkadal’?” . Dalam www.library.unisba.ac.id. 25 juli 2005. Malang. (Kunjungan situs 24 Februari 2007)
Sohirin. 2005. “Ichlasul Amal : Negatif, Jurnalis Jadi Tim Sukses Pilkada”. Dalam www.tempointeraktif.com. 19 Mei 2005. Jakarta. (Kunjungan situs 24 Februari 2007)
Thahir, Imran. 2006. “Media Massa dan Pilkada Sulsel 2007”. Dalam www.fajar_online.com. 6 April 2006. Makassar. (Kunjungan situs 24 Februari 2007)