Minggu, 01 Maret 2009

Muara Di Strata Satu

Muara Di Strata Satu

Oleh Ahdika*

Akhir dari studi strata satu, ditandai dengan selesainya mahasiswa melakukan ujian komprehensif (sidang skripsi) dan mendapatkan ijazah atau sertifikat kelulusan. Di penghujung semester, berdasarkan SK dari pimpinan perguruan tinggi biasanya mahasiswa tersebut akan melaksanakan wisuda. Mengunakan baju kebesaran (jubah) beserta toga, di dalam prosesinya berupa sidang umum dan dihadiri oleh banyak orang. Dari unsur senat, pimpinan daerah, orang tua atau wali wisudawan sampai tamu kehormatan lainnya. Bukan fenomena yang asing, jika bertepatan dengan hari wisuda beberapa gedung dengan daya tampung besar menjadi sasaran pelaksanaan kegiatan. Alasannya sederhana, tentu untuk menampung wisudawan dan undangan yang datang, sehingga tak ada orang yang melewati prosesi itu. Hingga ruas-ruas jalan yang berada dekat gedung pun akan sesak karena banyaknya kendaraan. Tak mengenal jenis, merk, asal daerah mana, semuanya terparkir berada di dekat gedung pelaksanaan. Dengan satu tujuan menghadiri proses wisuda. Undangan pun datang bak air bah yang tumpah, beramai-ramai pergi ke acara yang diselenggarakan oleh panitia.

Wajah gembira penuh riak bahagia terpancar dari setiap mahasiswa yang di wisuda, tak tau jelas maksudnya. Namun yang bisa ditangkap, senyum wisuda bagian dari senyum kebebasan setelah beberapa tahun terakhir terikat oleh SKS pendidikan yang diselenggarakan perguruan tinggi. Apalagi sistem pendidikan di Indonesia yang mewajibkan belajar dari SD, SMP, SMA atau lebih dikenal dengan wajib belajar 12 tahun. Nah apabila dari pendidikan dasar sampai atas, ditambahkan dengan masa kuliah mencapai gelar kesarjanaannya, maka selama itu pula wisudawan terikat pada sistem pendidikan yang mau tidak mau harus dikerjakan. Bisa dibayangkan, bukan waktu singkat. Jadi wajar saja, guratan senyum yang diberikan wisudawan dikatakan sebagai senyum kebebasan. Tak menutup memiliki arti lain, senyum yang diberikan berupa senyum kepahitan penuh derita karena setelah wisuda secara resmi tidak menyandang gelar mahasiswa namun berstatus pengangguran intelektual. Idealnya setelah menyelesaikan pendidikan tinggi, keharusan anak untuk merubah nasib kelurga yang selama ini membiayai dari kecil hingga mendapatkan gelar kesarjanaan. Faktanya tidak mudah seperti yang diharapkan, selesai kuliah langsung mendapatkan jabatan, memiliki gaji besar dan mampu memberikan orang tua kebahagiaan dalam bentuk fisik. Terlepas dari masalah senyum tadi, di hari wisuda mahasiswa wajib memberikan senyum sebagai pertanda bahwa mereka bahagia. Toh kenyataannya, atribut yang digunakan dan riasan yang digunakan memang mengatakan “wajib tampak bahagia”.

Keluarga yang datang menghadiri undangan wisuda juga setuju dengan pernyataan tersebut, sehingga berbondong-bondong datang melihat anak, saudara dan orang yang dicintai disematkan gelar kesarjanaan. Tawa bahagia, derai air mata dan senyum penuh makna dapat dilihat dari raut wajah setiap orang yang datang di prosesi wisuda tersebut. Menggunakan jas, safari, batik, kemeja, blazer, kebaya hingga baju kebesaran lainnya digunakan disesuaikan berdasarkan kemampuan masing-masing. Bahkan tak menutup kemungkinan, ada dari orang tua atau wali wisudawan yang khusus memotong, membuat pakaian untuk dikenakan pada hari wisuda tersebut. Jika tidak pun, meminjam atau menyewa pakaian yang cocok digunakan pada hari yang penuh sejarah datangnya intelektual muda dihadapan dunia nyata. Semuanya sah-sah saja, karena tidak ada larangan atau aturan dalam menafsirkan dan mempresepsikan wisuda tersebut.

Pasca wisuda, wajah senyum wisudawan mulai menjadi guratan murung. Pakaian rapi berubah semrautan karena belum dapat naungan tempat beraktifitas atau kerja. Tabungan yang ada semakin menipis digunakan untuk membuat lamaran kerja dan dikirim melalui jasa pengiriman. Alhasil ada beberapa wisudawan memutuskan kembali ke kampung halaman, bekerja apa saja yang penting tidak terlalu bosan dengan suasana yang terjadi. Ada juga yang tetap memilih berkarir sesuai dengan gelar yang dimiliki, meski harus merantau jauh dari keluarga dan berada di pelosok, hingga ratusan kilo jaraknya dari ibukota kabupaten. Pilihan lainnya melanjutkan ke strata dua atau berkarir di dunia yang didapat bukan di bangku kuliah, namun dari organisasi kemahasiswaan atau lembaga luar berupa aktifis perubahan, politisi, enterprenuer, jurnalis sampai ahli agama, yang memang dikembangkan sesuai talenta. Meski baru sadar, mengetahui bakat yang ada di dalam diri pada usia di atas 20 tahun. Nah yang perlu dicermati, terkadang kebanyakan manusia melangkah dulu baru berpikir. Jika sudah terjadi, itu adalah takdir. Namun tidak menyiapkan sesuatu dari awal sehingga pasca wisuda, kebinggungan menentukan pilihan hidup. Semuanya kembali ke niat awal dari wisudawan tersebut, apakah memiliki perencanaan dalam hitungan bulan setelah wisuda langsung ingin bekerja atau menunggu pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan keinginan, baru akan bekerja dan sebaliknya tidak mau bekerja sama sekali karena harta yang ditinggalkan keluarga masih mencukupi hingga keturunan selanjutnya.

Dunia nyata, oh nyata. Bukan sesuatu yang hanya bisa dicapai dengan kata aku bisa, akan tercapai. Banyak tantangan dan halangan yang akan dihadapi oleh lulusan sarjana untuk mencapai hal tersebut. Terutama untuk mereka yang hanya berlabel ijazah kesarjanaan, jangan berharap lebih bisa dapat pekerjaan di waktu yang singkat. Dunia kerja begitu kejam, membutuhkan lulusan yang siap pakai, sudah memiliki pengalaman beberapa tahun pada lowongan pekerjaan yang dibuka. Cilakalah bagi lulusan yang tidak memiliki keahlian dan pengalaman di luar mata kuliah yang di dapat, karena saat ini nasib tidak berpihak ke Anda. Fakta yang ada, beratus-ratus lamaran yang murni berasal dari lulusan studi oriented belum tentu diterima kerja dengan mudah apabila tidak memiliki “orang dalam” di tempat yang ingin dilamar. Jika pun bisa bekerja, murni karena menggandalkan kemampuan mengisi jawaban pada lembar pertanyaan, melewati psikotes, berbicara saat interview hingga tes kesehatan hanya berbanding kecil dari jumlah wisudawan yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi.

Pilihan kerja yang masih jadi primadona saat ini bagi sebagian besar lulusan sarjana adalah amtenar. Tak ayal lagi saat pembukaan tes CPNS di Provinsi Kalimantan Barat beberapa waktu lalu, ribuan pendaftar memasukan lamarannya sesuai gelar yang disandang. Sementara pemerintah hanya menyediakan beberapa formasi kosong untuk ditempati oleh lulusan terbaik dari perguruan tinggi, sehingga kecerdasan menjawab lembar pertanyaan pada saat tes, keberuntungan dan garis nasib menjadi satu kesatuan pada saat melihat pengumuman kelulusan tes sebagai abdi negara tersebut. Selain perencanaan dan keahlian yang di dapat di luar pendidikan bangku kuliah, bekal yang harus dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi yakni jaringan, kenalan terhadap orang-orang yang memiliki kemungkinan dapat menggunakan jasa atau keahlian yang kita miliki. Nah, bagian ini merupakan hal terpenting sebagai media promosi diri bahwa sebenarnya kita layak untuk mendapatkan pekerjaan yang ditawarkan. Sudah bukan rahasia lagi apabila jalur lain yang dipilih, selain enterpreneur maka suatu kewajiban yang utama harus memiliki referensi orang yang akan menjadi rekan dan patner untuk mencapai tujuan kita. Jika sudah nyata, mengetahui jalur pasti jalan hidup yang akan dijalani maka tombol kendali semuanya berada di pribadi masing-masing. Ingin lama bekerja, sebentar, bertahan, memutar haluan lain atau tetap berstatus pengangguran.

*) Penulis merupakan dewan alumni Primakapon dan wisudawan Fahutan Untan semester ganjil 2008-2009.

Tidak ada komentar: