Selasa, 08 Juli 2008

Pilkada Kalbar ; Tak Sebatas Pemberian Bingkisan

Pilkada Kalbar ; Tak Sebatas Pemberian Bingkisan

Oleh

Ahdika Fitrarianto*

A. Pendahuluan

Genderang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kalbar sudah terasa gaungnya, meski pemilihan gubernur tersebut dihelat akhir tahun ini. Namun, berbagai strategi dan tak-tik jitu untuk memenangkan pemilihan sudah mulai dimainkan oleh para calon.

Pada dasarnya, Pilkada yang diusung merupakan bagian dari perbaikan, reformasi pemerintahan menuju demokrasi seutuhnya. Dimana masyarakat sebagai pilar dari demokrasi, juga turut ambil bagian dalam menyukseskannya. Sehingga, komponen masyarakat sebagai pengawas dan pengontrol kebijakan pemerintah, harus memilih secara langsung, siapa yang akan dijadikan pemimpinnyanya.

Tidak lagi, melalui pemilihan perwakilan seperti zaman orde baru dulu yang dianggap sudah tidak cocok. Dasarnya pun sudah jelas, berupa Undang-undang (UU) nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 17 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahaan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Nah, dalam pelaksanaan Pilkada secara langsung tersebut, akan menentukan 5 tahun mendatang siapa yang akan memimpin Kalbar, membawa daerah Khatulistiwa ini, menuju lebih baik. Mensejahterakan rakyat, menekan angka kemiskinan, membuka peluang kerja, meningkatkan taraf pendidikan dan kesehatan masyarakat.

B. Realita Masyarakat Kalbar

Tak pelak lagi, dalam pelaksanaan pilkada tersebut, terletak besar harapan masyarakat untuk perubahan taraf hidup mereka yang lebih baik. Bukan sebaliknya, menjadi lebih buruk. Apakah saat ini, kita sudah tahu jawabnya ? Tidak yakin ! Lihat saja saat hasil pemilihannya nanti.

Nah, di tengah gemerlapnya pesta demokrasi ini, beberapa calon yang ke depannya akan memimpin Kalbar sudah bersiap naik ke atas pentas, menjadi yang terbaik, merebut hati masyarakat, guna mendapatkan dukungan. Sehingga, pada saat pemilihan nanti, merekalah yang akan “dicoblos” masyarakat.

Di sini lah, peluang yang harus disadari. Jangan sampai tertipu, membeli “kucing dalam karung”, sehingga pada saat terpilih baru terjadi penyesalan dan ucapan kekeliruan: “Kenapa dia yang saya pilih ya ?” pun terlontarkan.

Pasalnya jika menilik tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masyarakat, Kalbar termasuk kategori tertinggal dari provinsi lain yang ada di Indonesia. Pada tahun 2004, Kalbar masuk peringkat 27 dari 32 provinsi.

Bahkan tak heran, dari tingkat IPM tersebut merebak pula menjadi daerah miskin. Alhasil, tentu akan berhubungan pula dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sehingga, ada sedikit bantuan yang diberikan calon, pilihan masyarakat akhirnya jatuh ke pemberi bantuan. Namun tidak melalui proses seleksi, mana yang terbaik di antara paling baik.

Itu belum termasuk tingkat pendidikannya. Dari jumlah penduduk Kalbar di tahun 2006, berjumlah 4.107.230 jiwa, yang mengenyam pendidikan strata satu (S1) alias sarjana hanya 1,5 persen dan diploma 1,3 persen dari jumlah tersebut (Anwar, 2007).

Sungguh miris, jika 50 persen penduduk Kalbar, hanya mendapatkan sedikit bantuan lalu jatuh hati dengan calon yang memberikan sumbangan tersebut, sehingga akhirnya pilihan pada saat mencoblos pun jatuh ke calon pemberi bantuan.

Tentu, hasilnya tidak diharapkan. Lantaran calon terpilih naik jadi gubernur, karena bantuan yang diberikan bukan kompetensi yang dimiliki untuk memimpin Kalbar sebagai daerah potensial dan layak untuk maju ini.

Belum lagi, bicara politik busuk yang dimainkan oleh calon untuk memenangkan secara tidak sah. Money politics, dengan melihat realitas dan kondisi yang dialami masyarakat terpecil, tidak menutup kemungkinan peluang tersebut cukup besar untuk dilakukan. Lihat saja, beberapa pemilihan kepala daerah yang telah dilangsungkan di provinsi-provinsi yang ada di Indonesia.

Contohnya, di daerah Depok, ada bagi-bagi uang pada acara Maulid Nabi. Kemudian di Bandar Lampung, dalam bentuk pembagian uang dan bingkisan. Di Semarang, ada bagi-bagi uang Rp. 45.000 oleh tim sukses. Di Sleman, ada pejabat ikut-ikutan melakukan politik uang. Di Kalimantan Selatan, memberikan bingkisan. Di Pekalongan, ada upaya mempengaruhi publik dengan uang. Di Sumenep, terkenal dengan serangan fajarnya, dilakukan dan tertangkap basah, pagi-pagi membagikan beras dan uang di desa-desa. (Aman, 2005)

Nah, jika di Kalbar pun terjadi upaya tidak sehat demikian. Tentu, peluang masyarakat memilih tidak secara independent akan tercipta. Lantaran, sudah ada bingkisan yang datang, jadi mau tidak mau, karena tidak enak sama yang memberi barang, jadi ikut-ikutan memilih. Namun, jika masyarakat bisa membedakan pemberian dengan pemilihan secara proporsional, tidak masalah. Artinya, barang sumbangan yang diberikan merupakan pemberian jadi tidak ada hubungan dengan masalah pemilihan, karena tidak ada yang bisa mengatur masalah hak pemberian suara.

Jika seperti itu pemahamannya, tidak terjadi masalah dalam Pilkada yang akan memilih pemimpin kalbar nanti. Nah, jika kejadiannya berbeda ? Kalbar terperosok dalam gubernur sebatas bingkisan saja.

C. Netralisir Intrik Lewat Media

Saat ini, gerak-gerik politis untuk mencari dan mendapatkan perhatian masyarakat, sehingga didukung pada pemilihan nanti sudah dilancarkan. Mulai dari kunjungan, memberikan santunan, meresmikan tempat ibadah sampai mengisi malam pergantian tahun pun dilakukan.

Tapi yang jelas, jika itu adalah suatu metode yang harus dilakukan sebelum menjadi calon, tidak masalah. Asal jelas, batas dan aturannya. Tidak menjelekan dan menjatuhkan calon lain.

Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah kecerdasan masyarakat untuk mengetahui: seberapa dalam niat tulus serta kesucian calon pemimpin, untuk menjadi top leader di daerahnya. Itu yang sebenarnya diharapkan dan harus didapatkan masyarakat, dari kunjungan-kunjungan calon ke daerahnya.

Selain itu, media sebagai satu dari lima pilar demokrasi, dapat pula digunakan sebagai perantara dalam membangun jalinan komunikasi politik ke masyarakat. Bukan pula menjadi alat, dalam memuluskan langkah calon pemimpin yang tidak selayaknya menjadi pemimpin. Lantaran, memiliki pendanaan yang kuat.

Idealnya, media merupakan senjata paling efektif dalam menyampaikan pesan ke masyarakat, agar tidak memilih “kucing dalam karung”. Karena dari media ini lah, masyarakat dapat tahu, tanpa harus pergi ke suatu tempat, menempuh jarak yang jauh serta menghabiskan waktu yang banyak. Cukup membaca koran atau pun menonton siaran, yang dapat mengenalkan figur pemimpin dan membedah calon, serta intrik-intrik yang dilakukan untuk mencapai kemenangan.

Karena secara strategis, kalangan media berpotensi memainkan peranannya. Meski secara sadar, bahwa calon pemimpin sudah membuat strategi untuk memenangkan persaingan yang telah terwacana dengan baik, namun melalui media diharapkan dapat menetralisir hal tersebut, sehingga timbul opini masif dan terciptanya realitas sendiri di kalangan masyarakat.

Apalagi, peraturannya tentang keterlibatan media dalam Pilkada sudah jelas. Media massa cetak diperbolehkan menjadi partisan, namun tetap harus memberikan informasi yang benar kepada publik serta harus mengkuliti si calon agar masyarakat tidak memilih “kucing dalam karung”. Sedangkan media elektronik tidak dibenarkan menjadi partisan, karena terikat dengan frekwensi yang merupakan hak publik yang sangat terbatas (Sohirin, 2005).

Namun dari media pula, opini politik yang tercipta atas sebuah even politik dapat bermuara kepada realitas kooperatif, kompetisi atau pertentangan. Jika isu politiknya lebih mengarah pada pilihan politik (political choice) maka realitas politiknya lebih bernuansa kooperatif. (Thahir, 2006).

Artinya, bila isu politik lebih mengarah kepada penekanan kepentingan politik (political interest) maka lebih menggiring kepada suasana kompetisi. Sedangkan, jika isu politik lebih kepada pendekatan nilai (political value), maka tentunya akan lebih berkecenderungan ke arah pertentangan politik. Harapanya, tentu perhelatan demokrasi tingkat lokal tersebut lebih mengarahkan kepada wujud interaksi politik kooperatif dan kompetitif.

Nah dari media ini lah, cara yang bisa dilakukan untuk memunculkan calon pemimpin yang seharusnya mendapatkan dukungan dari masyarakat. Dengan kata lain, media dan kerja kewartawanan ibarat pelapor permainan intrik busuk yang harus diketahui masyarakat,, agar tidak salah pilih.

Untuk itu, diperlukan cara menyampaikan informasi ke masyarakat, sehingga tidak terjadi pepatah membeli “kucing dalam karung” dalam Pilkada Kalbar kali ini.

Pertama, surface facts. penelusuran fakta-fakta dari sumber orisinal. Wartawan menggali informasi, seperti, dari rilis berita, catatan-catatan, dan berbagai omongan (speeches). Kedua, kerja reportorial enterprise, pekerjaan seperti memverifikasi, menyelidiki, meliput kejadian-kejadian mendadak, atau mengamati latar belakang. Ketiga, ialah menggali interpretation and analysis, memahami dan memaknai galian data dan fakta yang sudah terkumpul, terkerangka, dan terasumsi (Santana, 2005).

Setelah semuanya dapat terkumpul dengan lengkap, baru dipublikasikan ke masyarakat secara objektif dan proporsional. Biarkan masyarakat menelaah dan menentukan sendiri pilihannya, siapa yang terbaik menjadi pemimpin Kalbar hingga tahun 2012 nanti.

D. Kesimpulan

Realitas yang terjadi di masyarakat, karena pengaruh ekonomi dan tuntutan kebutuhan yang selalu meningkat. Membuat, suatu keputusan yang diambil, bisa berpihak kepada orang yang memberikan bantuan pada saat dibutuhkan.

Jika dihubungkan dengan masalah Pilkada Kalbar yang akan dihelat dalam waktu dekat ini, tentu peluang tersebut dapat menimbulkan kecenderungan pilihan masyarakat bukan dikarenakan atas kesadaran dan memilah mana yang terbaik. Namun, karena siapa yang membantunya. Sehingga diperlukannya, upaya dalam meminimalisir tindakan spekulan yang dilakukan calon pemimpin dalam upaya memenangkan persaingan tidak sehat tersebut. Di sini, peran media lah sebagai penyampai informasi kebenaran terhadap masyarakat yang dituntut untuk memberitakan yang sebenarnya, sehingga masyarakat tidak memilih “kucing dalam karung” pada perhelatan demokrasi lokal ini.

*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Kehutanan Untan

Pustaka

Aman, Adhy. 2005. “Transkrip Diskusi Publik Terbatas (Politik Uang dalam Pilkada)”. Dalam http://www.komisihukum.go.id//. 30 Juni 2005. Jakarta. (Kunjungan situs 24 Februari 2007)

Anwar. 2007. “Presentasi Makalah dalam Sosialisasi Budaya Baca”. 25 Januari 2007. Pontianak.

Santana, Septiawan. 2005. “Bagaimana Media Meliput ‘Pilkadal’? . Dalam www.library.unisba.ac.id. 25 juli 2005. Malang. (Kunjungan situs 24 Februari 2007)

Sohirin. 2005. “Ichlasul Amal : Negatif, Jurnalis Jadi Tim Sukses Pilkada”. Dalam www.tempointeraktif.com. 19 Mei 2005. Jakarta. (Kunjungan situs 24 Februari 2007)

Thahir, Imran. 2006. “Media Massa dan Pilkada Sulsel 2007”. Dalam www.fajar_online.com. 6 April 2006. Makassar. (Kunjungan situs 24 Februari 2007)

Cukupkah “Tombol On/ Off” Televisi ???

Cukupkah “Tombol On/ Off” Televisi ???
Oleh
Ahdika. F*
Perkembangan jurnalisme di tanah air cukup membanggakan, terasa bagi masyarakat Indonesia. Banyak pembaharuan dari segi pemberitaan dan tayangan yang dapat dibandingkan dari masa ke masa kualitasnya. Meskipun seabreg masalah tentang jurnalistik yang mengikuti perkembangannya. Mulai dari era pra kemerdekaan, memasuki kemerdekaan, orde lama, orde baru hingga saat ini reformasi. Pada hakikatnya, tahapan menuju kebebasan pers yang bertanggungjawab. Bagian dari demokrasi.
Masing-masing dari jurnalisme pada era-nya, memiliki ciri khas tersendiri, fungsi tersendiri, karena dipengaruhi kondisi negara, pemerintahan serta masyarakat yang ada di dalamnya.
Jurnalistik dalam Ensiklopedi Pers Indonesia, merupakan kegiatan dalam komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita atau ulasannya mengenai berbagai peristiwa sehari-hari yang bersifat umum dan hangat dalam waktu secepat-cepatnya. Merupakan kegiatan pencatatan atau pelaporan dan penyebaran berita tentang kejadian sehari-hari. (Kurniawan, 1991; 113).
Menurut Patmono Sk dalam bukunya yang berjudul Teknik Jurnalistik (1993; 2) mengatakan, pelaporan harus mempunyai nilai-nilai berita sehingga dapat dikonsumsi masyarakat, yakni konflik, kabaruan dan kedekatan, keterkaitan/ pengaruh, keabsahan, keanehan, dan seks.
Di era kemerdekaan, media yang paling efektif dalam propaganda, komunikasi dan informasi merupakan surat kabar atau radio, berkembang beberapa puluh tahun kemudian menjadi televisi, walau masih hitam putih, meningkat menjadi warna dan sekarang yang paling termuktahir adalah internet. Meskipun demikian, media paling mudah diserap dan digunakan oleh masyarakat adalah televisi, karena tidak memerlukan biaya yang besar serta tidak harus repot-repot mengunakannya. Hanya dengan menekan tombol on, televisi dapat langsung dilihat. Televisi merupakan bagian dari pada dunia jurnalisme, dimana ada proses penyampaian informasi, kontrol sosial, pendidikan serta hiburan yang termuat di dalamnya.
Tetapi beberapa masalah mencuat untuk kalangan jurnalisme visual ini, karena dampak ekstrim tayangannya yang menjadi sorotan dari beberapa elemen masyarakat serta lembaga independen. Adanya tayangan yang tidak memberikan peran nyata dalam perkembangan kehidupan masyarakat, hanya sekedar bermuatan entertaimen, tanpa ada unsur lainnya. Selain mengenyampingkan fungsi utamanya, terindikasi menjadi tayangan mengejar keuntungan semata.
Beberapa kontroversi yang sebenarnya bisa menjadi renungan bagi kita semua, sebagai konsumen televisi dalam jalur kehidupan. Tidak ada yang paling mengasyikan ketika berhadapan dengan televisi. Ketika menonton acara yang paling digemari.
Baru-baru ini tentang infotaiment yang dikatakan oleh ormas Islam PBNU. Adalah haram untuk acara infotaimen. Dengan memperlihatkan masalah-masalah pribadi atau rumah tangga orang di depan umum serta belum tentu kebenarannya, sehingga dapat menjadi fitnah. Cukup kontras dari apa yang saat ini digandrungi oleh beberapa stasiun televisi, dari apa yang dilemparkan oleh PBNU. Mungkin karena rating penontonnya yang tinggi. Sehingga acara infotaimen tersebut dikembangkan dalam berbagai versi, mulai dari acara mistis, kehidupan glamour selebritis, sampai pada hal-hal unik dalam kehidupan sehari-hari juga menjadi tayangan dari infotaimen. Hingga tak heran, dari baru bangun tidur, hingga akan tidur lagi, tayangan-tayangan infotaimen ada saja di setiap stasiun televisi.
Perlu diperhatikan, adanya efek pemberitaan yang ditayangkan terhadap kondisi sosial masyarakat. Ini yang tidak diharapkan. Dari masyarakat biasa dengan kehidupan serba sederhana, mulai mencotoh hidup glamour yang tidak pantas. Sehingga terkesan menjadi dipaksakan. Akan lucu dan aneh jika tidak diseimbangkan dengan cara hidup yang normal.
Kasus pornografi yang belum usai-usai disorot, dengan timbulnya kontroversi antara menolak dan menyetujui UU anti pornografi. Dengan berawal mencuatnya goyang ngebor Inul, sampai pada simpul akhir wacana terbitnya majalah Playboy. Hal tersebut mengundang banyak gejolak dari masyarakat, mulai dari kritikan melalui media-media informasi sampai pada gerakan aksi menentang atau mendukung adanya undang-undang anti pornoaksi dan pornografi.
Ada yang menghubungkan antara ketidaksesuaian norma dengan gaya hidup ketimuran bangsa Indonesia. Ada juga komponen yang mengatakan, jika terlalu berpikiran ngeres, wajar saja akan menimbulkan “syahwat”. Akhirnya menjadikan semua yang layak dan tidak layak untuk ditonton, dikembalikan kepada masayarakat sebagai konsumen.
Apakah kemurnian dan peran dari jurnalisme telah memudar, jawabnya tentu tidak. Ketika dunia media tidak dijadikan sebagai sumber keuntungan yang sebesar-besarnya.
Para pengelola pers, yang mempunyai niat tersendiri, berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya lewat penyiaran berita. Sehingga pers hanya peduli dengan pangsa pasar, dikhawatirkan tidak menghiraukan kepentingan umum.
Menurut Ana Nadya Abrar dalam bukunya berjudul Bila Fenomena Jurnalis di Refleksikan (1997; 206), mengatakan biasanya pers yang sudah tidak hirau dengan kepentingan umum masa bodoh saja dengan kualitas informasi. Informasi yang disajikan kepada khalayak, tidak lagi memenuhi standar teknis dan etika jurnalis yang universal. Pada saat titik inilah orang mempertentangkan pangsa pasar dan kepentingan umum.
Tetapi jika kita mengarahkan dan melihat pada segi positifnya seperti memperlihatkan wajah koruptor, ditayangkan ditelevisi. Bagi Artin S Utomo, Direktur TPI, media punya tanggung jawab untuk ambil bagian dalam langkah-langkah pemberantasan korupsi. Serta tayangan ekstrim dengan tujuan untuk menggugah kesadaran hukum.
Mungkin tidak lama lagi, di layar-layar televisi akan dipampang wajah-wajah koruptor yang akan dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat, tak terkecuali anak-anak. Dalam pemberitaan juga akan dilaporkan, tentang tindak kejahatan yang dilakukan oleh koruptor, teknik-teknik pelaksanaan yang semua mewujud dan menggiring kepada suatu pembentukan opini.
Kesemuanya ini akan kembali kepada kita sebagai pengkonsumsi tayangan televisi, apakah televisi tersebut mempunyai nilai atau tidak. Jika tidak, sederhana, cukup dengan menekan tombol off untuk mematikan televisi. Tetapi tidak seperti itu yang kita harap, jauh lebih dari sekedar hanya untuk kepentingan pribadi. Tetapi bagaimana, ketika suatu yang kurang tepat kita arahkan ke lebih baik.
Sebagai solusi, perlunya mempertimbangkan tentang tiga hal :
Pertama, bagaimana membuat jam tayang yang sesuai dengan kualitas penontonnya. Tidak akan menjadi permasalahan jika yang menonton televisi tersebut adalah mereka yang mempunyai kepentingan tersendiri. Tetapi akan berbeda halnya jika tayangan tersebut dapat secara bebas dikonsumsi oleh masyarakat, dari kelas bawah sampai atas, dari anak-anak sampai ke kakek nenek. Apa yang akan disampaikan dalam tayangan tersebut memberikan kontribusi pemikiran baru bagi pengkonsumsinya atau orang yang melihatnya. Pikiran dan emosi dari jiwa diperlukan oleh tubuh untuk bergerak terkecuali gerak refleks. Ketika otak diminta untuk berpikir tentang sesuatu hal, maka ia akan mencari di antara kata-kata, gambar-gambar, fakta-fakta dan hal-hal lain yang pernah tersimpan dalam ingatan.
Maka nyata untuk anak-anak, memberikan pengaruh yang jelas, bisa jadi tindakan ekstrim, kriminal, pelecehan seks dan semua yang tidak pernah dibayangkan akan terjadi dan dimotivasi karena tontonan di televisi, sangat menyedihkan.
Belum lagi, masyarakat dengan kelas pendidikan rendah menonton tayangan aplikatif dari kriminal, yang dapat ditiru. Akan memudahkan bagi masyarakat untuk mencontoh tindakan tersebut, sehingga hasilnya menjadi terobosan kejahatan, transfer ilmu melalui tayangan film ataupun melalui acara televisi.
Untuk itu perlu solusi, kompromi antara pemerintah, lembaga independen serta pihak pengelola stasiun televisi, bahwa pada waktu-waktu tertentu saja, jam tayang seperti high class, film action dan kekerasan yang dapat ditayangkan.
Kedua, adanya peraturan dan ketegasan dari pemerintah dalam mengatur peraturan yang diseimbangi dengan kode etik dan fungsi jurnalisme. Selama ini, pemberitaan yang selalu di awasai oleh pemerintah menjadi pengekangan terhadap kebebasan dengan melakukan pembrendelan terhadap pemberitaan. Tetapi bukan karena pemberendelan terhadap pemberitaan yang menekankan fungsi kontrol sosial ke pemerintah yang ingin saya sampaikan. Tetapi lebih cenderung ke arah tayangan yang tidak mendidik, banyak terkesan memberikan pembodohan terhadap pola pikir, yang harus mendapat ketegasan. Melalui badan sensor film dan tayangan yang telah ada untuk lebih profesional dan mengutamakan kualitas penyeleksian film, mutlak harus dikerjakan. Lembaga-lembaga independen yang berhubungan dengan pertelevisian juga selalu memonitoring, dengan memberikan masukan dan saran terhadap perkembangan televisi.
Adanya ketegasan dari pemerintah ini, bukan berarti memberikan pengekangan terhadap media, tetapi lebih adanya upaya kejelasan dan ketegasan dalam masalah penayangan jadwal acara serta melakukan penindakan terhadap penayangan yang kurang memberikan kualitas bagi kemajuan masyarakat.
Ketiga, menjadikan jurnalis bebas yang bertanggung jawab serta tidak mengutamakan pangsa pasar tanpa memandang kualitas pemberitaan dan penayangan. Masalah yang besar ketika media sudah keluar dari fungsi utamanya dan hanya mengutamakan permintaan pasar tanpa melihat sisi kehidupan lain yang perlu untuk disoroti. Dsini akan ada permainan, kontraksi dalam pemberitaan, apa adanya yang penting disenangi. Jadilah media untuk kenyamanan masyarakat bukan untuk kepentingan masyarakat.
Tetapi yang tidak kalah penting adalah jurnalis. Mereka yang turun ke lapangan mencari dan mengolah berita. Ketika pemberitaan yang bebas, harus disertai tenggungjawab terhadap berita tersebut, kepada kode etik wartawan maupun moral, itu yang harus ditekankan.
Tidak banyak apa yang diharapkan, memulai perubahan dan perbaikan terhadap kehidupan. Ketika sudah melihat tontonan cenderung membuat keburukan, tidak ada pesan mendidik yang harus diungkap. Apa lagi yang dapat diharapkan untuk pemberitaan media nasional kita, hanya harapan sebagai pembelajaran, proses dari penyempurnaan, menuju demokrasi seutuhnya.

Rabu, 11 Juni 2008

Anatomi Kayu Belian Sanggau Kalimantan Barat

I. PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Kayu sebagai produk organisme hidup memiliki sifat-sifat alami yang sangat unik dan masing-masing jenis mempunyai tampilan karakteristik yang berbeda. Sifat-sifat kayu yang unik dan berkarakteristik tersebut saling berhubungan serta mendukung antara satu bagian dengan bagian lainnya sehingga inherent dalam struktur anatomi sel-sel penyusunnya. Wujud dari keunikan dan karakteristik kayu secara nyata divisualisasikan dalam bentuk batang serta bagian penyusun pohon lainnya sehingga membuat kayu menarik untuk ditelaah.

Namun dalam pengunaannya kayu sehari-hari kajian tentang struktur atau karakteristik anatomi secara mikroskopis tidak terlalu diutamakan. Padahal dari sifat dasarnya dapat menjadi tinjauan dalam pengidentifikasian serta pemanfaatan kayu sesuai sifat alaminya. Menurut Wahyudi, Pandit dan Budihartoko (1995) agar penggunaan suatu jenis kayu tepat dan efisien, maka macam dan tujuan penggunaan kayu harus disesuaikan dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh kayu tersebut. Dengan mengetahui sifat dasar kayu memberikan manfaat yang maksimal dalam proses pengenalan jenis kayu secara ilmiah serta meningkatkan kualitas penggunaan dalam kerangka pelestarian hutan yang tersisa.

Keberadaan hutan penghasil kayu yang ada di Indonesia, hampir seluruhnya terdiri dari hutan tropika basah yang terkenal akan berbagai jenis kayu. Menurut hasil penelitian, hutan tropika alam Indonesia tersebut dihuni oleh lebih kurang 4.000 jenis kayu dan baru sekitar 400 jenis yang sudah dikenal dalam perdagangan (Pandit dan Prihatini, 2006). Begitu halnya dengan hutan di Kalimantan Barat yang masuk dalam kategori hutan tropika basah, masih terdapat jenis pohon yang belum diketahui identifikasinya secara lengkap dan ilmiah, termasuklah varietas ulin atau yang dikenal dengan nama belian (Eusideroxylon zwageri T.et.B).

Menurut Heyne (1987), di Kalimantan terdapat empat varietas kayu belian (Eusideroxylon zwageri T.et.B) yang dikenal dengan sebutan belian tando, belian bilin, belian tembaga dan belian kapur yang dimanfaatkan secara berbeda oleh masyarakat. Sedangkan dalam bahasa Dayak Matek Sanggau, Kalimantan Barat kayu ulin disebut taas dengan empat varietas yang berbeda, dikenal dengan nama varietas kunciat, varietas rembedia’, varietas jalo’ dan varietas buru’. Keberagaman varietas ulin yang ada di Kalimantan Barat ini, menunjukan karakteristik yang berbeda dari segi anatominya, hal tersebut dapat diketahui dari kajian yang dilakukan pada tingkat anakan dua varietas belian yakni belian merah dan kuning dari sumber benih Plomas Sanggau (Khotimah dan Wahdinah, 2006).

Dari hal tersebutlah dirasakan perlunya penelitian anatomi kayu ulin secara lengkap berupa pengamatan makroskopis dan mikroskopis sehingga dapat menjadi acuan dalam pengidentifikasian jenis atau nama serta upaya pengoptimalan dalam pemanfaatan ke empat varietas kayu belian (Eusideroxylon zwageri T.et.B) asal hutan alam Sanggau Kalimantan Barat.

B. Masalah Penelitian

Keragaman varietas kayu belian (Eusideroxylon zwageri T.et.B) asal hutan alam Sanggau Kalimantan Barat menunjukan kayanya jenis kayu yang ada di hutan tropika basah. Namun keberagaman tersebut tidak ditunjang dengan data yang ilmiah, karena masih terbatasnya penelitian secara anatomis untuk mengetahui karakteristik jenis kayu yang ada sehingga masyarakat hanya mengenal kayu yang diketahui dalam perdagangan saja.

Bahkan untuk empat varietas belian yang dijumpai di Kalimantan Barat, baru diketahui dua varietas ditingkat anakkan sehingga belum secara lengkap anatominya dari ke empat varietas yang ada. Padahal dari segi pengidentifikasian jenis kayu, hal tersebut mutlak untuk diketahui sebagai acuan dalam pengenalan varietas secara ilmiah. Apalagi jika meninjau keberadaan belian sebagai jenis kayu mewah asal Kalimantan yang mulai terbatas jumlahnya, sehingga diperlukan metode khusus untuk melestarikan keberadaanya. Baik itu dari segi pemuliaan tanaman maupun pemanfaatannya secara efisien dengan merujuk dari kajian anatomisnya.

Untuk itu diperlukannya penelitian secara anatomis guna mengetahui karakteristik empat varietas kayu belian asal Kalimantan Barat dengan mengamati sifat dasarnya secara makroskopis dan mikroskopis sehingga dapat melengkapi data untuk pengenalan jenis dan pemanfaatan kayu ulin secara optimal.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik anatomi dari empat varietas kayu belian (Eusideroxylon zwageri T.et.B) asal hutan alam Sanggau, Kalimantan Barat. Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa kemudahan mengidentifikasi varietas kayu belian dan menambah literatur penelitian tentang anatomi kayu daun lebar di daerah hutan tropika basah.

D. Hipotesis

1. Diduga adanya pengaruh varietas terhadap karakteristik anatomi kayu belian (Eusideroxylon zwageri T.et.B) asal hutan alam Sanggau Kalimantan Barat.

2. Diduga adanya pengaruh bagian pohon berdasarkan ketinggian terhadap dimensi serabut kayu belian (Eusideroxylon zwageri T.et.B) asal hutan alam Sanggau Kalimantan Barat.

3. Diduga terdapat interaksi antara varietas dan bagian bohon berdasarkan ketinggian terhadap dimensi serabut kayu belian (Eusideroxylon zwageri T.et.B) asal hutan alam Sanggau Kalimantan Barat.

Data Riset Lapangan dan Literatur “Peti Mati Belian”

Oleh : Ahdika F dan Lika Afriani

1. Nama lokasi : Mabit

2. Letak lokasi : Dusun Ngira Desa Samongan Kecamatan Noyan Kabupaten ...Sanggau Kalimantan Barat

3. Batas wilayah desa :

a. Timur : berbatasan dengan daerah Bonti

b. Selatan : berbatasan dengan daerah Jangkang

c. Barat : berbatasan dengan daerah Sekayam

d. Utara : berbatasan dengan daerah Sekayam

4. Jumlah penduduk Mabit : 33 KK

5. Mata Pencaharian : Petani dan perambah hutan

6. Agama penduduk : Mayoritas Katolik

7. Jarak tempuh (jam) :

a. Pontianak ke ibukota kecamatan selama 10 jam menggunakan bus

b. Noyan ke Mabit selama 12 jam menggunakan jalan kaki

8. Status wilayah : Berstatus hutan ada yang belum memiliki SK Pemerintah

9. Penyebaran, tempat tumbuh dan jenis belian :

Kayu belian (Eusideroxylon zwageri T.et.B) sejak lama sudah diketahui memiliki empat varietas dengan penyebutan yang berbeda, ada yang berdasarkan nama daerah, pemanfaatan, hasil pengamatan atau tampilan fisik seperti warnanya. Menurut Heyne (1987), dari Kalimantan dijumpai bahwa Belian Tando berwarna coklat kemerah-merahan, Belian Bilin dan Belian Tembaga berwarna kuning yang digunakan untuk pondasi dan lantai serta Belian Kapur berwarna coklat yang digunakan untuk sirap. Sedangkan menurut Achmad (2003) sebagaimana dikutip oleh Khotimah dan Wahdinah (2006), di Jambi varietas kayu ulin atau belian dikenal dengan sebutan varietas irap, varietas daging, varietas tanduk dan varietas kapur.

Keberadaan varietas belian ini sudah semakin sulit ditemukan di hutan alam, meski demikian di beberapa daerah adat yang dikelola oleh masyarakat secara individu masih bisa dijumpai, walau dalam kategori sisa. Di beberapa daerah adat, kayu belian dikenal dengan sebutan yang berbeda berdasarkan bahasa daerahnya, seperti di Hutan Adat Mabit Dusun Ngira Desa Samongan Kecamatan Noyan, Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat empat varietas kayu belian dikenal dengan sebutan taas kunciat, taas rembedia’, taas jalu’ dan taas buru’ .

Menurut Heyne (1987), secara umum kayu belian dikenal dengan nama Bulian, Bulin (Bangka), Nagalin (Sumatera Tengah), Onglen (Palembang), Bulin, Tabelien (Kalimantan Barat), Balian, Kayo Taba (Kalimantan Tenggara), Lampahang, Ulin, Tabalien, Tabulin, Tadien, Taliun, Tawudien, Taluliun dan Talien (Kutai). Sedangkan daerah penyebarannya, menurut Sutisna dkk (1998), meliputi Sumatera Bagian Timur dan Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan dan Kepulauan Sulu serta Pelawan di Filipina. di Kalimantan Barat sendiri, menurut Wahdinah, dkk (2006), di Bukit Benua Sungai Ambawang Kabupaten Pontianak diperoleh dua varietas ulin yang berbeda, yaitu Belian Kuning dan Belian Merah. Sedangkan penelitian Khotimah dan Wahdinah (2006) dari empat varietas kayu ulin baru dua varietas saja (belian merah dan kuning) yang ditemukan di kawasan sumber benih Plomas, Sanggau Kalbar.

Pohon ulin tumbuh subur di hutan hujan tropis primer atau hutan skunder tua pada iklim basah dengan curah hujan tahunan rata-rata 2.500-4.000 mm. Menyukai tanah yang berdrainase baik di lembah atau lereng bukit atau punggung-punggung bukit rendah dengan kelembaban tanah cukup. Dengan tekstur tanah tanah berpasir, lempung berliat, lempung berpasir pada jenis tanah berkapur. Sebaran tempat tumbuh ulin mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 500-625 dpl. Terpencar atau berkelompok dan sering menjadi kanopi yang dominan (Tim Biokhas, 2000). Sedangkan menurut Kessler dan Sidiyasa (1999) seperti tercantum dalam tulisan Noorhidayah dan Sidiyasa (2006), ulin memiliki habitat berupa hutan primer dan skunder, hingga ketinggian 500 m, tumbuh di tanah berpasir yang berdrainase baik. Jenis ini sering dijumpai sepanjang aliran sungai dan bukit-bukit di dekatnya, kadang-kadang membentuk tegakan murni.

10. Pemanfaatan Belian :

Berdasarkan pemanfaatan jenis belian, menurut Heyne (1987) Belian Tando dan Belian Bilin baik sekali digunakan untuk pondasi dan lantai seperti Belian Tembaga sedangkan Belian Kapur dapat digunakan untuk sirap. Menurut Martawijaya, dkk dalam Atlas Kayu Indonesia (1997), kegunaan kayu belian (Eusideroxylon zwageri T.et.B) dapat dipakai untuk tiang landasan dalam tanah, balok, papan lantai, mebel dan ukiran untuk hiasan rumah. Selain itu dapat dipergunakan juga untuk sirap, bangunan maritim, tiang, balok, kerangka atau papan pada bangunan rumahan dan jembatan, bantalan, pintu air, balok pelapis jalan, tiang pagar, balok percetakan, patok, karoseri, perkapalan (gading-gading dan dek), kaser penyarad, tiang listrik dan sumpit makanan. Sedangkan menurut Silitonga, dkk (1972) sebagaimana tercantum dalam tulisan Batubara (1992) panjang serabut empat varietas belian masuk dalam kategori kelas 3 sebagai bahan baku pulp dan kertas dengan nilai antara 900 μm sampai 1.600 μm.

DAFTAR PUSTAKA

Batubara, Syawaluddin Anwary. 1992. Struktur Anatomi, Sifat Fisik dan Kimia Empat Jenis Kayu serta Kemungkinan Sebagai Bahan Plup. Fakultas Pertanian Untan. Pontianak. (skripsi)

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II, Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan RI.

Khotimah, Siti dan Wahdinah. 2006. Kajian Anatomis Empat Varitas Ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binend) di Kalimantan Barat. Lap Penelitian Dikti 2006, Pontianak.

Martawijaya A, Iding K, YL Mandang, SA Prawira, Kosasi Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Noorhidayah dan Kade Sidiyasa. 2006. Konservasi Ulin (Eusideroxylon zwageri T.et.B) dan pemanfaatannya sebagai tumbuhan obat. Jur Info Hutan Vol III (N0.2); Hal123-130.

Tim Biokhas, 2000. Ulin. Bul Biokhas Vol 5 (No.I); Hal. 13-14.