Selasa, 08 Juli 2008

Cukupkah “Tombol On/ Off” Televisi ???

Cukupkah “Tombol On/ Off” Televisi ???
Oleh
Ahdika. F*
Perkembangan jurnalisme di tanah air cukup membanggakan, terasa bagi masyarakat Indonesia. Banyak pembaharuan dari segi pemberitaan dan tayangan yang dapat dibandingkan dari masa ke masa kualitasnya. Meskipun seabreg masalah tentang jurnalistik yang mengikuti perkembangannya. Mulai dari era pra kemerdekaan, memasuki kemerdekaan, orde lama, orde baru hingga saat ini reformasi. Pada hakikatnya, tahapan menuju kebebasan pers yang bertanggungjawab. Bagian dari demokrasi.
Masing-masing dari jurnalisme pada era-nya, memiliki ciri khas tersendiri, fungsi tersendiri, karena dipengaruhi kondisi negara, pemerintahan serta masyarakat yang ada di dalamnya.
Jurnalistik dalam Ensiklopedi Pers Indonesia, merupakan kegiatan dalam komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita atau ulasannya mengenai berbagai peristiwa sehari-hari yang bersifat umum dan hangat dalam waktu secepat-cepatnya. Merupakan kegiatan pencatatan atau pelaporan dan penyebaran berita tentang kejadian sehari-hari. (Kurniawan, 1991; 113).
Menurut Patmono Sk dalam bukunya yang berjudul Teknik Jurnalistik (1993; 2) mengatakan, pelaporan harus mempunyai nilai-nilai berita sehingga dapat dikonsumsi masyarakat, yakni konflik, kabaruan dan kedekatan, keterkaitan/ pengaruh, keabsahan, keanehan, dan seks.
Di era kemerdekaan, media yang paling efektif dalam propaganda, komunikasi dan informasi merupakan surat kabar atau radio, berkembang beberapa puluh tahun kemudian menjadi televisi, walau masih hitam putih, meningkat menjadi warna dan sekarang yang paling termuktahir adalah internet. Meskipun demikian, media paling mudah diserap dan digunakan oleh masyarakat adalah televisi, karena tidak memerlukan biaya yang besar serta tidak harus repot-repot mengunakannya. Hanya dengan menekan tombol on, televisi dapat langsung dilihat. Televisi merupakan bagian dari pada dunia jurnalisme, dimana ada proses penyampaian informasi, kontrol sosial, pendidikan serta hiburan yang termuat di dalamnya.
Tetapi beberapa masalah mencuat untuk kalangan jurnalisme visual ini, karena dampak ekstrim tayangannya yang menjadi sorotan dari beberapa elemen masyarakat serta lembaga independen. Adanya tayangan yang tidak memberikan peran nyata dalam perkembangan kehidupan masyarakat, hanya sekedar bermuatan entertaimen, tanpa ada unsur lainnya. Selain mengenyampingkan fungsi utamanya, terindikasi menjadi tayangan mengejar keuntungan semata.
Beberapa kontroversi yang sebenarnya bisa menjadi renungan bagi kita semua, sebagai konsumen televisi dalam jalur kehidupan. Tidak ada yang paling mengasyikan ketika berhadapan dengan televisi. Ketika menonton acara yang paling digemari.
Baru-baru ini tentang infotaiment yang dikatakan oleh ormas Islam PBNU. Adalah haram untuk acara infotaimen. Dengan memperlihatkan masalah-masalah pribadi atau rumah tangga orang di depan umum serta belum tentu kebenarannya, sehingga dapat menjadi fitnah. Cukup kontras dari apa yang saat ini digandrungi oleh beberapa stasiun televisi, dari apa yang dilemparkan oleh PBNU. Mungkin karena rating penontonnya yang tinggi. Sehingga acara infotaimen tersebut dikembangkan dalam berbagai versi, mulai dari acara mistis, kehidupan glamour selebritis, sampai pada hal-hal unik dalam kehidupan sehari-hari juga menjadi tayangan dari infotaimen. Hingga tak heran, dari baru bangun tidur, hingga akan tidur lagi, tayangan-tayangan infotaimen ada saja di setiap stasiun televisi.
Perlu diperhatikan, adanya efek pemberitaan yang ditayangkan terhadap kondisi sosial masyarakat. Ini yang tidak diharapkan. Dari masyarakat biasa dengan kehidupan serba sederhana, mulai mencotoh hidup glamour yang tidak pantas. Sehingga terkesan menjadi dipaksakan. Akan lucu dan aneh jika tidak diseimbangkan dengan cara hidup yang normal.
Kasus pornografi yang belum usai-usai disorot, dengan timbulnya kontroversi antara menolak dan menyetujui UU anti pornografi. Dengan berawal mencuatnya goyang ngebor Inul, sampai pada simpul akhir wacana terbitnya majalah Playboy. Hal tersebut mengundang banyak gejolak dari masyarakat, mulai dari kritikan melalui media-media informasi sampai pada gerakan aksi menentang atau mendukung adanya undang-undang anti pornoaksi dan pornografi.
Ada yang menghubungkan antara ketidaksesuaian norma dengan gaya hidup ketimuran bangsa Indonesia. Ada juga komponen yang mengatakan, jika terlalu berpikiran ngeres, wajar saja akan menimbulkan “syahwat”. Akhirnya menjadikan semua yang layak dan tidak layak untuk ditonton, dikembalikan kepada masayarakat sebagai konsumen.
Apakah kemurnian dan peran dari jurnalisme telah memudar, jawabnya tentu tidak. Ketika dunia media tidak dijadikan sebagai sumber keuntungan yang sebesar-besarnya.
Para pengelola pers, yang mempunyai niat tersendiri, berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya lewat penyiaran berita. Sehingga pers hanya peduli dengan pangsa pasar, dikhawatirkan tidak menghiraukan kepentingan umum.
Menurut Ana Nadya Abrar dalam bukunya berjudul Bila Fenomena Jurnalis di Refleksikan (1997; 206), mengatakan biasanya pers yang sudah tidak hirau dengan kepentingan umum masa bodoh saja dengan kualitas informasi. Informasi yang disajikan kepada khalayak, tidak lagi memenuhi standar teknis dan etika jurnalis yang universal. Pada saat titik inilah orang mempertentangkan pangsa pasar dan kepentingan umum.
Tetapi jika kita mengarahkan dan melihat pada segi positifnya seperti memperlihatkan wajah koruptor, ditayangkan ditelevisi. Bagi Artin S Utomo, Direktur TPI, media punya tanggung jawab untuk ambil bagian dalam langkah-langkah pemberantasan korupsi. Serta tayangan ekstrim dengan tujuan untuk menggugah kesadaran hukum.
Mungkin tidak lama lagi, di layar-layar televisi akan dipampang wajah-wajah koruptor yang akan dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat, tak terkecuali anak-anak. Dalam pemberitaan juga akan dilaporkan, tentang tindak kejahatan yang dilakukan oleh koruptor, teknik-teknik pelaksanaan yang semua mewujud dan menggiring kepada suatu pembentukan opini.
Kesemuanya ini akan kembali kepada kita sebagai pengkonsumsi tayangan televisi, apakah televisi tersebut mempunyai nilai atau tidak. Jika tidak, sederhana, cukup dengan menekan tombol off untuk mematikan televisi. Tetapi tidak seperti itu yang kita harap, jauh lebih dari sekedar hanya untuk kepentingan pribadi. Tetapi bagaimana, ketika suatu yang kurang tepat kita arahkan ke lebih baik.
Sebagai solusi, perlunya mempertimbangkan tentang tiga hal :
Pertama, bagaimana membuat jam tayang yang sesuai dengan kualitas penontonnya. Tidak akan menjadi permasalahan jika yang menonton televisi tersebut adalah mereka yang mempunyai kepentingan tersendiri. Tetapi akan berbeda halnya jika tayangan tersebut dapat secara bebas dikonsumsi oleh masyarakat, dari kelas bawah sampai atas, dari anak-anak sampai ke kakek nenek. Apa yang akan disampaikan dalam tayangan tersebut memberikan kontribusi pemikiran baru bagi pengkonsumsinya atau orang yang melihatnya. Pikiran dan emosi dari jiwa diperlukan oleh tubuh untuk bergerak terkecuali gerak refleks. Ketika otak diminta untuk berpikir tentang sesuatu hal, maka ia akan mencari di antara kata-kata, gambar-gambar, fakta-fakta dan hal-hal lain yang pernah tersimpan dalam ingatan.
Maka nyata untuk anak-anak, memberikan pengaruh yang jelas, bisa jadi tindakan ekstrim, kriminal, pelecehan seks dan semua yang tidak pernah dibayangkan akan terjadi dan dimotivasi karena tontonan di televisi, sangat menyedihkan.
Belum lagi, masyarakat dengan kelas pendidikan rendah menonton tayangan aplikatif dari kriminal, yang dapat ditiru. Akan memudahkan bagi masyarakat untuk mencontoh tindakan tersebut, sehingga hasilnya menjadi terobosan kejahatan, transfer ilmu melalui tayangan film ataupun melalui acara televisi.
Untuk itu perlu solusi, kompromi antara pemerintah, lembaga independen serta pihak pengelola stasiun televisi, bahwa pada waktu-waktu tertentu saja, jam tayang seperti high class, film action dan kekerasan yang dapat ditayangkan.
Kedua, adanya peraturan dan ketegasan dari pemerintah dalam mengatur peraturan yang diseimbangi dengan kode etik dan fungsi jurnalisme. Selama ini, pemberitaan yang selalu di awasai oleh pemerintah menjadi pengekangan terhadap kebebasan dengan melakukan pembrendelan terhadap pemberitaan. Tetapi bukan karena pemberendelan terhadap pemberitaan yang menekankan fungsi kontrol sosial ke pemerintah yang ingin saya sampaikan. Tetapi lebih cenderung ke arah tayangan yang tidak mendidik, banyak terkesan memberikan pembodohan terhadap pola pikir, yang harus mendapat ketegasan. Melalui badan sensor film dan tayangan yang telah ada untuk lebih profesional dan mengutamakan kualitas penyeleksian film, mutlak harus dikerjakan. Lembaga-lembaga independen yang berhubungan dengan pertelevisian juga selalu memonitoring, dengan memberikan masukan dan saran terhadap perkembangan televisi.
Adanya ketegasan dari pemerintah ini, bukan berarti memberikan pengekangan terhadap media, tetapi lebih adanya upaya kejelasan dan ketegasan dalam masalah penayangan jadwal acara serta melakukan penindakan terhadap penayangan yang kurang memberikan kualitas bagi kemajuan masyarakat.
Ketiga, menjadikan jurnalis bebas yang bertanggung jawab serta tidak mengutamakan pangsa pasar tanpa memandang kualitas pemberitaan dan penayangan. Masalah yang besar ketika media sudah keluar dari fungsi utamanya dan hanya mengutamakan permintaan pasar tanpa melihat sisi kehidupan lain yang perlu untuk disoroti. Dsini akan ada permainan, kontraksi dalam pemberitaan, apa adanya yang penting disenangi. Jadilah media untuk kenyamanan masyarakat bukan untuk kepentingan masyarakat.
Tetapi yang tidak kalah penting adalah jurnalis. Mereka yang turun ke lapangan mencari dan mengolah berita. Ketika pemberitaan yang bebas, harus disertai tenggungjawab terhadap berita tersebut, kepada kode etik wartawan maupun moral, itu yang harus ditekankan.
Tidak banyak apa yang diharapkan, memulai perubahan dan perbaikan terhadap kehidupan. Ketika sudah melihat tontonan cenderung membuat keburukan, tidak ada pesan mendidik yang harus diungkap. Apa lagi yang dapat diharapkan untuk pemberitaan media nasional kita, hanya harapan sebagai pembelajaran, proses dari penyempurnaan, menuju demokrasi seutuhnya.

Tidak ada komentar: