Data Riset Lapangan dan Literatur “Peti Mati Belian”
Oleh : Ahdika F dan Lika Afriani
1. Nama lokasi : Mabit
2. Letak lokasi : Dusun Ngira Desa Samongan Kecamatan Noyan Kabupaten ...Sanggau Kalimantan Barat
3. Batas wilayah desa :
a. Timur : berbatasan dengan daerah Bonti
b. Selatan : berbatasan dengan daerah Jangkang
c. Barat : berbatasan dengan daerah Sekayam
d. Utara : berbatasan dengan daerah Sekayam
4. Jumlah penduduk Mabit : 33 KK
5. Mata Pencaharian : Petani dan perambah hutan
6. Agama penduduk : Mayoritas Katolik
7. Jarak tempuh (jam) :
a. Pontianak ke ibukota kecamatan selama 10 jam menggunakan bus
b. Noyan ke Mabit selama 12 jam menggunakan jalan kaki
8. Status wilayah : Berstatus hutan ada yang belum memiliki SK Pemerintah
9. Penyebaran, tempat tumbuh dan jenis belian :
Kayu belian (Eusideroxylon zwageri T.et.B) sejak lama sudah diketahui memiliki empat varietas dengan penyebutan yang berbeda, ada yang berdasarkan nama daerah, pemanfaatan, hasil pengamatan atau tampilan fisik seperti warnanya. Menurut Heyne (1987), dari Kalimantan dijumpai bahwa Belian Tando berwarna coklat kemerah-merahan, Belian Bilin dan Belian Tembaga berwarna kuning yang digunakan untuk pondasi dan lantai serta Belian Kapur berwarna coklat yang digunakan untuk sirap. Sedangkan menurut Achmad (2003) sebagaimana dikutip oleh Khotimah dan Wahdinah (2006), di Jambi varietas kayu ulin atau belian dikenal dengan sebutan varietas irap, varietas daging, varietas tanduk dan varietas kapur.
Keberadaan varietas belian ini sudah semakin sulit ditemukan di hutan alam, meski demikian di beberapa daerah adat yang dikelola oleh masyarakat secara individu masih bisa dijumpai, walau dalam kategori sisa. Di beberapa daerah adat, kayu belian dikenal dengan sebutan yang berbeda berdasarkan bahasa daerahnya, seperti di Hutan Adat Mabit Dusun Ngira Desa Samongan Kecamatan Noyan, Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat empat varietas kayu belian dikenal dengan sebutan taas kunciat, taas rembedia’, taas jalu’ dan taas buru’ .
Menurut Heyne (1987), secara umum kayu belian dikenal dengan nama Bulian, Bulin (Bangka), Nagalin (Sumatera Tengah), Onglen (Palembang), Bulin, Tabelien (Kalimantan Barat), Balian, Kayo Taba (Kalimantan Tenggara), Lampahang, Ulin, Tabalien, Tabulin, Tadien, Taliun, Tawudien, Taluliun dan Talien (Kutai). Sedangkan daerah penyebarannya, menurut Sutisna dkk (1998), meliputi Sumatera Bagian Timur dan Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan dan Kepulauan Sulu serta Pelawan di Filipina. di Kalimantan Barat sendiri, menurut Wahdinah, dkk (2006), di Bukit Benua Sungai Ambawang Kabupaten Pontianak diperoleh dua varietas ulin yang berbeda, yaitu Belian Kuning dan Belian Merah. Sedangkan penelitian Khotimah dan Wahdinah (2006) dari empat varietas kayu ulin baru dua varietas saja (belian merah dan kuning) yang ditemukan di kawasan sumber benih Plomas, Sanggau Kalbar.
Pohon ulin tumbuh subur di hutan hujan tropis primer atau hutan skunder tua pada iklim basah dengan curah hujan tahunan rata-rata 2.500-4.000 mm. Menyukai tanah yang berdrainase baik di lembah atau lereng bukit atau punggung-punggung bukit rendah dengan kelembaban tanah cukup. Dengan tekstur tanah tanah berpasir, lempung berliat, lempung berpasir pada jenis tanah berkapur. Sebaran tempat tumbuh ulin mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 500-625 dpl. Terpencar atau berkelompok dan sering menjadi kanopi yang dominan (Tim Biokhas, 2000). Sedangkan menurut Kessler dan Sidiyasa (1999) seperti tercantum dalam tulisan Noorhidayah dan Sidiyasa (2006), ulin memiliki habitat berupa hutan primer dan skunder, hingga ketinggian 500 m, tumbuh di tanah berpasir yang berdrainase baik. Jenis ini sering dijumpai sepanjang aliran sungai dan bukit-bukit di dekatnya, kadang-kadang membentuk tegakan murni.
10. Pemanfaatan Belian :
Berdasarkan pemanfaatan jenis belian, menurut Heyne (1987) Belian Tando dan Belian Bilin baik sekali digunakan untuk pondasi dan lantai seperti Belian Tembaga sedangkan Belian Kapur dapat digunakan untuk sirap. Menurut Martawijaya, dkk dalam Atlas Kayu Indonesia (1997), kegunaan kayu belian (Eusideroxylon zwageri T.et.B) dapat dipakai untuk tiang landasan dalam tanah, balok, papan lantai, mebel dan ukiran untuk hiasan rumah. Selain itu dapat dipergunakan juga untuk sirap, bangunan maritim, tiang, balok, kerangka atau papan pada bangunan rumahan dan jembatan, bantalan, pintu air, balok pelapis jalan, tiang pagar, balok percetakan, patok, karoseri, perkapalan (gading-gading dan dek), kaser penyarad, tiang listrik dan sumpit makanan. Sedangkan menurut Silitonga, dkk (1972) sebagaimana tercantum dalam tulisan Batubara (1992) panjang serabut empat varietas belian masuk dalam kategori kelas 3 sebagai bahan baku pulp dan kertas dengan nilai antara 900 μm sampai 1.600 μm.
DAFTAR PUSTAKA
Batubara, Syawaluddin Anwary. 1992. Struktur Anatomi, Sifat Fisik dan Kimia Empat Jenis Kayu serta Kemungkinan Sebagai Bahan Plup. Fakultas Pertanian Untan. Pontianak. (skripsi)
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II, Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan RI.
Khotimah, Siti dan Wahdinah. 2006. Kajian Anatomis Empat Varitas Ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binend) di Kalimantan Barat. Lap Penelitian Dikti 2006, Pontianak.
Martawijaya A, Iding K, YL Mandang, SA Prawira, Kosasi Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Noorhidayah dan Kade Sidiyasa. 2006. Konservasi Ulin (Eusideroxylon zwageri T.et.B) dan pemanfaatannya sebagai tumbuhan obat. Jur Info Hutan Vol III (N0.2); Hal123-130.
Tim Biokhas, 2000. Ulin. Bul Biokhas Vol 5 (No.I); Hal. 13-14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar