Bebas Diambang Batas
Oleh
Ahdika*
Bebas. Mengandung makna yang ada di dalamnya. Dapat berarti positif, namun tak sedikit pula yang menilainya negatif. Cara berpikir dan penafsiran berbeda-beda membuat kata itu menjadi lebih dinamis, penuh gejolak dan menarik untuk ditelaah. Begitulah realitas kemajemukan yang terjadi di masyarakat, dinamika yang terkadang memulai benih perselisihan paham hingga dijadikan alasan tajam kritikan. Tak ada yang perlu diratapi, cukup menjadi bahan evaluasi dalam memahami esensi kedewasaan berpikir.
Paham yang mengatasnamakan kebebasan, menitikberatkan manusia sebagai subjeknya dengan sadar dapat melakukan apa saja, tanpa mengindahkan kaidah-kaidah kehidupan yang berlaku asal tidak merugikan orang lain. Mengekspresikan kebebasan. Dengan kata lain boleh saja dikerjakan asal tidak menggangu kepentingan orang banyak dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Liberalisme berpikir seperti ini secara nyata sudah terjadi di masyarakat, merasuki setiap tindakan yang disebabkan pola pikir realistik. Sebuah kata yang pas untuk disandangkan dengan kondisi yang terjadi.
Paham yang berkembang ini menjangkit, bak virus menular di daerah-daerah urban secara cepat, akurat menjajali kumpulan komunitas yang mengatakan dirinya modern. Dengan pasti merubah cara pergaulan, berpakaian, interaksi sosial sampai pada jenis makanan. Terkadang bicara pun sudah menggunakan kosakata sendiri, bukan lagi bahasa yang susah-susah dirumuskan oleh para ahli menjadi bahasa resmi negara ini. Semua yang diaplikasikan mengerucut pada satu kata yakni “gaul”.
Kebebasan yang dianut kaum urban, khususnya kalangan remaja secara eksplisit menyatakan bahwa setiap maksud yang ada di kepala dapat diekspresikan, bisa diwujudkan, karena itulah esensi kebebasan. Sehingga tak mengherankan sesuatu di dunia antah-berantah yang tidak diketahui secara pasti maksud dan tujuannya diserap menjadi style dan trend baru yang berkembang di komunitas modern. Seperti regres yang dipaksa masuk menjadi progres, berubah wujud karena tuntutan zaman. Hitam dapat jadi putih, sebaliknya putih bisa berubah hitam.
Paham yang tidak dapat dibendung merasuki setiap kepala pada kaum urban, didukung mudahnya akses informasi dan komunikasi. Misalnya trend berpakaian yang digandrungi, dalam hitungan menit dapat diakses melalui internet atau melihat tontonan tv yang sangat luas dan tak terbatas. Selain itu pasar, berupa dunia bisnis juga memandangnya sebagai market baru yang dapat dijadikan sumber keuntungan sehingga dengan suka rela menjadi pemasok kebutuhan tersebut. Hasilnya dalam sehari, kaum urban penganut paham kebebasan dengan mudah mengubah gaya fashion mereka sesuai keinginan. Coba sedikit ketahui efek minusnya, paham kebebasan yang merasuki kepala tersebut dapat merubah citra kehidupan bangsa yang ada. Identitas bangsa dihilangkan, ciri yang ada digerus perubahan zaman yang secara tidak langsung merupakan hasil adopsian negara-negara berpaham liberalisme. Bisa jadi maksud yang diusung oleh kaum urban baik, dengan menyesuaikan kondisi kehidupan zaman namun tidak melupakan identitas bangsa yang terbatas digunakan pada hari perayaan-perayaan nasional atau cukup ditempatkan di etalase-etalase museum saja.
Nah mari menilik generasi urban Pontianak. Bukanlah pemandangan asing lagi dengan remaja menggunakan taburan pernak-pernik, baju beraneka warna sampai merelakan tubuh bagian paling tertutup digoresi tinta (tatto) ada disekitar kehidupan kita. Jika masih belum pernah melihatnya, silakan Anda menelusuri jalan protokol di Kota Pontianak pada sore hari. Di waktu itu akan dijumpai fenomena kehidupan urban yang diterapkan. Berkelompok sesama komunitasnya, menonjolkan sisi identitas diri yang dapat dibedakan antara user motor, anak mall, skaters, grup band, punk, style “jadul” retro hingga komunitas benda antik. Meski mereka tidak mendeklarasikan sebagai kaum urban, namun arah dari gaya kehidupan yang diterapkan membawa paradigma kita menuju ke sana.
Penampilan dari kaum urban biasanya dipengaruhi oleh cara berpikirnya sehingga membawa pada kepribadian dan bermuara di gaya kehidupan. Dari setiap tindakan itu, akan menghasilkan akibat, melahirkan kata pada kehidupan masyarakat berupa dampak sosial gaya kehidupan remaja yang mengatasnamakan kebebasan dengan memandang pergaulan bukanlah hal yang menakutkan. Fenomena pergeseran paham yang ekstrim antara budaya konservatif dengan liberal, seperti hubungan yang dikenal pacaran. Bukan hal baru, bahkan sebagian remaja menjadikannya rutinitas ideal yang harus dilakukan di masa ini. Alhasil, ketika hubungan pacaran menjelajah ke tindakan berbau kasih sayang sehingga menghalalkan pengungkapkan bentuk cinta berupa sentuhan fisik ke pasangan yakni belaian dan ciuman. Lambat laun mengenal gelora seksual yang memicu bom waktu aktifitas ekstrim, seks bebas.
Remaja dengan ikatan pacaran bahkan dapat intim berpegangan tangan, berpelukan hingga melebihi pasangan yang sudah memiliki ikatan jelas pernikahan di depan khalayak umum. Seperti tak mengindahkan orang lain lagi. “Whatever dengan pandangan orang. Asal kami mau, kenapa tidak?” seperti itu barangkali ungkapan yang ada di benak mereka.
Cara berpikir tersebut membuat presepsi tidak ada sesuatu yang menakutkan di komunitas urban, sehingga berhubungan intim (seks bebas) di luar pernikahan bukan hal aneh. Prilaku yang didukung seperti terciptanya kesepakatan, tak ada larangan kalau pun ada hanya berupa komitmen diantara pasangan urban, misalnya meresmikan status hubungan mereka secara hukum. Toh kenyataannya corong kebebasan barat mengiyakan hal tersebut, bahkan paling terkomitmen merestui adanya hubungan sesama jenis dalam satu ikatan perkawinan.
Kejadian terbaru yang dipublikasikan oleh rekan media dapat menjadi referensi kembali, betapa luasnya beredar paham bebas di komunitas-komunitas urban yakni dengan ditangkapnya pasangan mahasiswa di Kota Pontianak, tanpa ikatan pernikahan berada berduaan di kamar kos oleh warga setempat. Sang wanita tanpa menggunakan busana atasan alias baju. Masih belum cukup, di setiap razia yang dilakukan Satpol PP di kota Pontianak, ada saja pasangan tanpa nikah yang tertangkap sedang “mesum” di kamar kosnya tanpa mengantongi lembar nikah resmi. Tak dapat dipungkiri satu penyebab yang membuat mereka berani melakukannya, karena dapat mengantisipasi kemungkinan yang terjadi apabila hubungan intim tersebut membuahkan hasil. Faktanya dipasaran bebas banyak beredar alat kontrasepsi, tes kehamilan sampai pil penunda datangnya si janin. Selain itu juga banyak sikap bebas yang dapat menjadi rujukan tindakan mereka, untuk melakukan sama persis seperti apa yang diperbuat oleh publik figurnya. Layaknya media yang heboh memblow-up berita si aktris, aktor, musisi, olahragawan, politikus, dewan rakyat yang terhormat hingga orang yang mentasbihkan diri sebagai ahli agama. Begitu pula lah sebaliknya komunitas urban berlomba-lomba untuk mengup-date dirinya sehingga masuk dalam kategori gaul. Antitesisnya adalah tingkat pendidikan yang tinggi, informasi dan komunikasi yang sangat mudah. Begitu mendukung paham liberalisme yang ekstrim. Keberpihakan kondisi terhadap kemajuan juga menguntungkan kaum urban dari segala hal, di setiap lini kehidupan.
Kejadian seperti masalah di atas sudah sangat sering kita dengar dan lihat, tidak hanya terjadi di Kota Pontianak, bahkan merata di seluruh wilayah Indonesia yang mengalami kemajuan menuju fase modern alias terdapatnya komunitas urban di sana. Mari meninjau kembali kehidupan di belahan dunia barat, yang menjadi kiblat liberalisme modern. Kebebasan yang ditekankan menyangkut hak privasi seseorang sudah di dukung dalam aturan-aturan negara. Sehingga secara formal legalitas negara merupakan lembaga hukum yang memberikan dukungan penuh terhadap kebebasan hidup warganegaranya. Artinya kebebasan yang mereka perbuat tidak melanggar aturan dan sudah dijamin secara penuh oleh negara, tak akan ada yang dapat menghentikan kebebasan yang dilakukan apabila tidak ada orang yang dirugikan atau menuntut mereka dilecehkan atau pun memperkarakan ekspresi tersebut.
Sementara di Indonesia sendiri, secara eksplisit aturan yang mendukung tentang kebebasan kehidupan memang belum diatur secara jelas. Bahkan rancangan undang-undang tentang pornografi masih menuai kontroversi. Meski demikian walau tidak didukung aturan oleh negara, kaum urban tetap berkembang dan eksis di kondisi saat ini. Sehingga kuatnya aturan agama, ikatan budaya dan norma yang ada di masyarakat secara pelan mulai ditiadakan kaum urban yang ingin secara penuh mengekspresikan diri.
Seperti itulah fenomena yang terjadi. Dapatkah membuka cakrawala bergesernya budaya, jati diri bangsa dengan merobek jantung kehidupan masa depan berupa remaja. Akankan Indonesia menjadi peradaban yang tinggal nama atau sebaliknya, menjadi bangsa kuli yang kehilangan eksistensi kehidupan tergerus paham kemajuan peradaban padahal berada di otoritas wilayah sendiri. Menyaksikan atau mari berbuat untuk menjadikan paham berbalik dengan menciptakan Indonesia sebagai trend center kehidupan melalui keramahtamahan serta budaya ketimuran. “Whatever”.
* Penulis Merupakan Dewan Alumni Primakapon dan Pelaku Sosial